Rupanya kalimat ini adalah pesan terakhir Achdiat kepada salah satu cicit kesayangannya. Tiana sangat terkesan, sampai-sampai pesan ini dipakai pada penyusunan kertas kerja di sekolahnya. "Itu terjadi 3 bulan lalu, saat Aki masih sehat dan bisa berkomunikasi," ujar Dian yang kini tinggal di Canberra, Australia.
Menurutnya, meski Achdiat sudah lanjut usia dan fisiknya sudah tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas fisik, namun ingatannya masih kuat. Achdiat mampu berdiskusi tentang apa pun, terutama tentang keadilan, politik dan demokrasi di Indonesia yang menjadi perhatiannya. "Praktis, selama setahun terakhir ini Aki sudah tidak bisa apa-apa," ujarnya.
Baca Juga:
Achdiat tak hanya terkena serangan jantung saja, tetapi juga radang paru-paru sebelah kiri. Ia menjalani perawatan di rumah sakit karena kondisi yang sudah tidak memungkinkan lagi. "Dua hari lalu sudah membaik. Kami punya sedikit harapan," ujar Dian.
Achdiat dibawa pulang dan menjalani perawatan di rumah. Namun, tak banyak umur Aki tersisa. Pengarang novel Atheis itu tutup usia di Jindalee Nursing Home, kawasan permukiman Narrabundah, Canberra, Australia, Kamis (8/7) lalu. Pria kelahiran Garut, Jawa Barat, itu meninggal dalam usia 99 tahun. Novelis Angkatan 1945 itu dikebumikan di pekuburan Woden, Canberra, setelah menjalani ritual doa di masjid setempat.
Achdiat juga sempat berpesan kepada anak dan cucunya tentang keinginan dia menyelesaikan buku otobiografinya. Pesan ini disampaikannya dua pekan lalu saat ia masih dirawat di rumah sakit. "Aki berpesan agar anak-anaknya menyelesaikan buku terakhir itu," kata Dian.
Keinginan dan keingintahuan Achdiat yang sangat besar juga dibenarkan oleh Cheddy Dahlan, cucu pertamanya. "Aki orang yang keras, idealis. Tapi lembut dan hangat dalam keluarga," kata Cheddy. Meskipun lama tinggal di negeri Kangguru itu, kepeduliannya tentang Indonesia masih ada. Achdiat, menurut Cheddy, selalu memiliki pemikiran yang kritis terhadap ketidakadilan di Tanah Air.
Lain halnya dengan sastrawan Ajip Rosidi, kawan dekat Aki. Ia punya segudang pengalaman pribadi terhadap almarhum. Ajip yang selalu memanggil Achdiat dengan "Mang" sangat menghormatinya. Ia adalah salah satu sastrawan Indonesia angkatan '45 yang penting. "Meskipun begitu, saya bukan tidak ada kritik terhadapnya," ujar Ajip. Hal yang paling dia ingat adalah kesan Achdiat dan istri yang selalu tertawa jika mengingat pertama kali bertemu Ajip yang memakai celana pendek.
Ismi Wahid