Begitulah pentas pantomim dengan lakon Sapu di Tangan yang dibawakan oleh Teater Sena Didi Mime pada Selasa dan Rabu malam lalu. Lakon garapan sutradara Yayu Aw Unru ini dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, sebagai bagian dari Jakarta Anniversary Festival 2010.
Pentas Sapu di Tangan bertolak dari kegelisahan Yayu atas budaya masyarakat Indonesia memperlakukan lingkungan, khususnya sampah. "Idenya memang sangat klise. Meskipun begitu, ini permasalahan yang tak pernah selesai," katanya usai pementasan. Yayu merasa sangat risih ketika melihat orang-orang dengan seenaknya membuang sampah, sehingga bertebaran di mana-mana.
Kegelisahan itu kemudian dituangkan Yayu dalam garapan pantomim teatrikal yang jenaka. Bayangkan, jika di dunia ini hanya tersisa 5 manusia saja. Mereka saling berebut sesuatu dan saling menyalahkan satu sama lain. Sesekali kelima penari itu melakukan gerakan yang kompak, berurutan dan teratur. Namun tak lama kemudian, satu di antaranya mbalelo, membuat gerakan sendiri. Cepat pula, si penari itu sadar jika gerakannya tak sama lalu masuk kembali ke grupnya dengan segera. Celakanya, ia mengulanginya kembali. Marahlah teman-temannya yang lain. Ia menjadi terusir dan terkucil. Tak lama kemudian, kesalahannya termaafkan.
Dalam pentas itu, sapu lidi tak hanya sebagai pegangan, tapi menjadi instrumen yang menghasilkan nada perkusif. Sebelum usai babak pertama, kelima penari itu menghadirkan fragmen yang didominasi oleh bunyi-bunyian. Mulanya, mereka gunakan sapu lidi itu sebagaimana fungsinya. Mereka melakukan gerakan seperti orang tengah menyapu.
Bunyi lembut dan monoton dari gerakan menyapu itu diatur menjadi satu awalan yang kompak. Tak lama kemudian, mereka mulai menggunakan benda-benda logam yang terserak. Memukulnya secara teratur menjadi satu repertoar perkusi.
Fragmen bagian ini mirip dengan yang dipertunjukkan satu grup perkusi dari New York, Amerika Serikat: Stomp. Bentuknya merupakan kombinasi yang unik antara permainan perkusi, gerak dan terkadang visualisasi komedi. Dibentuk pertama kali di Brighton, Inggris saat musim panas 1991 oleh kreator mereka Steve Mc Nicholas dan Luke Creswell.
Dan malam itu, Yayu membikin fragmen-fragmen kecil dengan tema yang berbeda-beda pada babak pertama. "Alur yang dibangun masih sama. Bagaimana mereka mempertahankan kelompok itu dengan beragam percekcokan dan perselisihan di antaranya," kata Yayu.
Babak kedua, pertunjukkan tak lagi menampilkan bagian-bagian kecil. Kelima penari – Stefanus Hermawan Kristyan, Ahmad Ramadhan Al Rasyid, Yehuda Gabrielita, Abdullah Rahman dan Abu Baka – menampilkan cerita utuh.
Mulanya adalah sebuah percakapan yang dibangun oleh kelima penari itu dengan bahasa daerah yang berbeda. Di balik plastik yang terjurai dari atas penuh botol-botol air mineral itu, mereka bertutur dengan bahasa Palembang, Aceh, Batak, Banjarmasin, dan Jawa. Uniknya, apa yang mereka sampaikan tidak nyambung satu sama lain. Dimulai dengan nada yang sopan, tak lama kemudian menjadi agresif dan emosional. Umpatan "Berak kau!" atau bahkan "Asu!" meramaikan pertunjukan. "Ini cermin budaya bangsa kita yang beraneka ragam," ujar Yayu menjelaskan.
Bahkan, penonton tergelak ketika mendengar ucapan salah seorang penari dengan logat Jawa yang halus, lalu menutupnya dengan umpatan yang sama sekali tidak nyambung dengan apa yang disampaikan sebelumnya. Begini kira-kira ia berkata, "Nek dikandhani wong tuwo ki seng manut. Giliran loro ati, ngadhep marang Gusti. Kae, deloken mbak Ani. Mantep to...Asu! (Menurutlah kalau dikasih tahu orang tua. Giliran sakit hati pasti meratap pada Tuhan. Lihat itu mbak Ani. Mantap kan? Anjing!)".
Mereka juga berlaku interaktif dengan penonton. Turun ke panggung, mendekat dengan penonton seolah-olah mencari sesuatu yang hilang. Saat benda khayalan itu ditemukan, salah satu penonton diminta untuk mengibaskan dengan sapu lidi seolah-olah benda itu menempel pada tubuh salah seorang penari.
Lakon ini memang bukan garapan yang pertama. Pada 2009 lalu pernah dipentaskan di Goethe Haus, Jakarta. "Tapi waktu itu, hanya yang babak kedua,” kata Yayu. “Babak pertama adalah pengkayaan alur cerita dan pertama kali dipentaskan di Bratislavia dan Wina kemarin.”
Teater Sena Didi Mime dibentuk pada 1977 oleh Sena A. Utoyo dan Didi Petet, saat mereka masih menjadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Karya-karya yang pernah mereka ciptakan, antara lain, Becak, Stasiun, Soldat, Becak B Kompleks, Lobi-lobi Hotel Pelangi, Sekata Kaktus du fulus, dan Se Tong Se Tenggak.
Meski pantomim pelit kata, pertunjukkan malam itu tak membosankan. Hal-hal remeh temeh bahkan gerakan keseharian diolah menjadi teatrikal yang jenaka dan menyegarkan. Yayu berhasil menyuguhkan sajian ringan dan segar.
Dan, melalui media yang menyenangkan semacam itu, boleh dibilang pesan akan mudah tersampaikan. "Semoga penonton tak hanya tertawa, tetapi pesannya juga bisa diterima oleh mereka," ujar Yayu.
ISMI WAHID