Setelah itu, letupan teriakan marah meningkahi musik yang berdentam keras. “Matamukah setajam silet mengulitiku. Kesurupan atau mabukkah kau? Benamkan kepalamu. Bayangkan kita dikuliti bumi. Dan semut-semut bersarang di liang mata.”
Begitulah sepenggal bait Malam Cahaya Lampion yang dibawakan penyair Tan Lioe Ie di Warung Tresni, Jalan Drupadi, Denpasar, Bali, Ahad malam lalu. Penyair berdarah Tionghoa itu bukan sedang membaca puisi dengan diiringi musik--biasa dikenal dengan musikalisasi puisi. “Ini adalah sebuah lagu blues meski awalnya ditulis sebagai puisi,” kata penyair berusia 52 tahun yang akrab disapa Yoki ini.
Malam itu, bersama kelompok band-nya, Bali, Yoki meluncurkan album Exorcism. Ini adalah sebuah album musik berisi sembilan lagu yang berusaha menggabungkan puisi dan blues. Selain lagu Exorcism, album itu berisi delapan tembang lainnya: Malam Cahaya Lampion, Negeri Apung, Co Kong Tik, Siapakah Kau, Abad yang Luka, Alam Kanak-kanak, Malam di Pantai Candidasa, dan Kunang-kunang Musim Gugur.
Sejak awal Yoki bersama empat musisi--Yande Sutawa (gitar), Putu Indrawan (bas), Kabe Giriyasa (drum), dan Made Dibia Sunjaya (keyboard)--sepakat untuk tidak sekadar menempelkan puisi ke musik atau sebaliknya. Karena itu, langkah awal untuk menyatukan adalah dengan berusaha saling memahami karakter pribadi dan karya masing-masing. “Untung, kami sudah berteman lama, jadi hampir tidak ada masalah,” ujar Yoki.
Sejak 1970-an, Yoki sudah dikenal sebagai penyair yang piawai membaca puisi dalam iringan musik. Salah satu yang cukup monumental adalah musikalisasi karya Umbu Landu Paranggi dalam album Kuda Putih.
Para musisi yang mengiringi Yoki dalam album Exorcism juga telah kenyang makan asam garam di jagat musik. Putu Indrawan dan Kabe Giriyasa, misalnya, adalah personel grup band Harley Angels, yang pada 1984 menjadi juara dalam ajang perdana Festival Rock Se-Indonesia versi Log Zhelebour. Dua musisi lainnya adalah pemain musik profesional yang acap mengisi sejumlah pentas di Bali.
Album Exorcism sudah mulai digarap sejak setahun lalu. Mereka menggarap album tersebut melalui proses latihan yang panjang dan pentas dari panggung ke panggung. Pada 2009, mereka sempat tampil dalam Pekan Seni Aceh di Banda Aceh.
Gitaris Yande Sutawa, yang menjadi komposernya, berperan besar dalam penggarapan musik album tersebut. Sebagian besar digarap setelah Yande berdiskusi dengan Yoki mengenai makna serta warna yang diinginkan menjadi roh puisi itu. Tapi ada pula yang dibuat setelah Yoki diminta membacakannya, seperti pada lagu Malam di Pantai Candidasa. Penyempurnaan dilakukan setelah musik dimainkan secara lengkap dan semua personel memberikan masukan. “Kalau sudah main, semua bisa berubah meski acuan utamanya blues,” kata Yande.
Hasilnya, blues menjadi irama mainstream dalam sebuah lagu, seperti pada Malam Cahaya Lampion, Exorcism, dan Kunang-kunang Musim Gugur. Tapi ada juga yang sekadar tempelan, seperti pada Negeri Apung yang kental nada etniknya. Lalu, pada tembang Siapakah Kau, yang lebih dekat ke musik akustik. Pada lagu Co Kong Tik, yang berkisah tentang tradisi Tionghoa mengirim rumah spiritual bagi orang mati, iramanya malah didominasi rumba dan reggae.
Lalu berhasilkah mereka menyajikan hal yang baru? Pemimpin Redaksi Bali Music Magazine Made Adnyana menilai, dengan senioritas mereka, warna musik yang dihasilkan benar-benar segar. “Mereka main dengan hati tanpa memikirkan aspek komersial atau popularitas. Jadi benar-benar mengalir,” ujarnya.
Menurut Adnyana, kedua pihak kelihatan saling memberikan kesempatan untuk tampil sehingga tidak ada yang dominan. Adnyana hanya berharap grup ini tidak perlu mengotakkan diri dengan menyebut beraliran blues. “Ini untuk membuka ruang apresiasi yang lebih lebar di masa depan.”
ROFIQI HASAN