***
Judul: Puisi Tubuh II dan Pintu
Koreografer: Ali Sukri
Penari: Sarah Sulaiman, Ali Sukri, Zulkani Alfian, Muhammad Hiban Hasibuan, Robert Wadelta Putra, Fitra Airiansyah
***
Berita-berita di televisi itu bikin berang. Tubuh Sarah Sulaiman sampai gemetar. Ia berteriak histeris sambil melempari layar kaca dengan jagung popnya. Lalu menenggak minuman sodanya, dan mengumpat singkat.
Di sisi lain, Ali Sukri menari di kusen pintu. Gerakannya lambat dan banyak bermain dengan akrobasi. Namun ia pun tak tahan ingin ikut nonton. Ali mendekati televisi, bergantian dengan Sarah. Matanya terus melotot, dan napasnya jadi terengah-engah.
Sebuah nomor tari bertajuk Pintu tengah dilakoni dua penari, Ali Sukri dan Sarah Sulaiman, dalam pementasan tari berjudul Puisi Tubuh II dan Pintu di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu malam lalu. Pertunjukkan itu terdiri dari dua bagian. Setelah Pintu, nomor berjudul Puisi Tubuh II tampil menjadi penutup pentas.
Bagi Ali, Pintu diibaratkan sebuah gerbang bertemunya dua ruang, antara ruang pribadi dengan ruang sosial. Sang penari yang sekaligus sebagai koreografer ini memaknai “Pintu” dalam tiga kategori. Pintu sebagai pengertian harfiah, membuka pintu sebagai simbol penerimaan sesuatu, dan menutup pintu yang diyakininya sebagai bentuk penolakan terhadap sesuatu.
Pintu versi Ali di atas panggung tak tampil utuh. Tak ada daun pintu yang menjadi pembatas nyata antara dalam dan luar. Ia hanya menyuguhkan kusen pintu berbentuk kotak. Dari rangka kayu itu, ia mengeksplorasi mimik wajah dan olah tubuhnya.
Di nomor kedua, Ali mengajak lima penari lain untuk berkolaborasi. Mereka adalah Zulkani Alfian, Muhammad Hiban Hasibuan, Robert Wadelta Putra, dan Fitra Airiansyah. Di nomor ini, Ali mengkoreografikan gerak tari melalui tubuh sebagai sebuah kesatuan. “Ide ini muncul dari perenungan saya akan adanya ruang dalam tubuh ini,” kata Ali. “Tidak sekadar ruang fisikal, melainkan lebih ke arah ruang imajinatif yang akan memberikan napas pada kreatifitas.”
Dengan properti berupa lemari besar dan meja berdiameter luas, para penari bergerak dalam koreografi tunggalnya masing-masing. Tiap gerak berbeda, namun kadang bermuara pada beberapa gerak yang sama.
Hanya dengan kostum celana pendek bermotif loreng, Ali dan penari lain tampil bertelanjang dada. Kostum sederhana ini justru menjadikan penonton lebih maksimal menikmati tarian, karena detail tari yang disuguhkan mampu memperlihatkan gerak tangan, kepala, kaki, dan badan, yang sedang dieksplorasikan.
Mimik wajah para penari pun memberikan penjelasan tentang sebuah rasa yang tengah dialami sang penari. Beberapa di antara mereka berwajah semringah dan geraknya terlihat riang serta bersemangat. Yang lainnya, justru berguling-guling gemetar dengan ekspresi takut, ngeri, dan meringis kesakitan.
AGUSLIA HIDAYAH