Tapi ada suasana lain di lantai basement di bawah terminal. Di sudut tangga, seorang lelaki sesekali meraung meratapi nasibnya. Bolak-balik ia mengeluarkan isi tas kemudian memasukkannya lagi. Suaranya mengiba sambil sesenggukan tanpa tangis. Orang-orang yang lalu-lalang kontan saja menengok dan menghentikan langkah, menatap lelaki itu dengan heran. Tapi ada juga yang tertawa lalu pergi meninggalkannya. "Kenapa sih orang itu? Ada-ada saja," ujar salah seorang pengunjung sambil berlalu pergi.
Ya, sungguh sulit Chalwanie Asy Arie bisa merebut perhatian publik. Ronta, pekik, dan sesekali isak tangisnya seolah tak manjur membuat orang-orang tergerak menonton aksi teatrikalnya. Aksi Chalwanie--sang aktor--adalah bagian dari penampilannya dalam Festival Monolog Ruang Publik ke-3, yang diselenggarakan oleh Federasi Teater Indonesia (FTI). Festival Monolog ini digelar di sejumlah ruang publik di Jakarta, sepanjang 20-26 Juni lalu.
Chalwanie membawakan naskah Jual Lagi. Narasi ini berkisah tentang dirinya yang rela diperjualbelikan karena keadaan ekonomi yang semakin membuatnya sesak. Sampai-sampai ia berujar sanggup melacur agar perutnya tak kosong. "Hidup itu yang sabar. Kalau mau rezeki halal, pasti banyak jalan," ujar seorang ibu yang iba kepadanya.
Dalam keputusasaan itu, niat bunuh diri sempat terlontar. Aktor Teater Anu ini mengalungkan sehelai kain ke lehernya dan meminta bantuan ibu tadi untuk membantu membuat simpul di lehernya. "Enggak mau, ah! Masak saya mbantuin kamu bunuh diri," ucap ibu itu.
Festival Monolog ini melibatkan 23 aktor teater yang memperlihatkan lakon-lakon mini mereka di beberapa ruang publik, seperti kuburan, lobi hotel, terminal, atau sudut-sudut jalan. "Berangkat dari sebuah kegelisahan kami atas penurunan kualitas keaktoran," kata Bambang Prihadi, Koordinator Pelaksana Harian FTI. Selama ini pertunjukan teater yang dikenal di masyarakat umum hanyalah di panggung. Dengan festival semacam ini, mereka menjemput publik agar teater tidak menjadi berjarak dengan penontonnya.
Spontanitas ataupun improvisasi sangat penting di sini. Para aktor dituntut untuk pandai membaca situasi ataupun emosi semua orang yang ditempatkan sebagai lawan mainnya. Aktor serta-merta beradaptasi dengan peran publik yang sebenar-benarnya.
FTI melibatkan aktor-aktor gaek menjadi tim juri, seperti Afrizal Malna, Andi Bersama, dan Meritz Hindra. Mereka menetapkan Hendra Setiawan sebagai aktor terbaik dari yang terbaik pada festival itu. Aktor dari Teater Kubur ini melakonkan narasi berjudul Jati Diri di Gelanggang Bulungan, Jakarta Selatan.
Menurut Afrizal, secara umum peserta masih latah menggunakan teks yang mereka bawa ataupun emosi yang biasanya mereka terapkan dalam ruangan. Sementara itu, mereka harus memerankan di ruang publik. “Banyak terbentuk agresi dengan ruang publik. Imajinasi tidak berkembang. Tapi ada juga yang cepat sadar dan segera beradaptasi,” katanya.
Bisa jadi penyebabnya adalah ketakbiasaan aktor memerankan lakon di ruang terbuka. “Akan lebih baik jika diadakan workshop terlebih dulu. Bermain peran di dalam panggung dan di luar memang sangat berbeda,” kata Afrizal.
Forum semacam ini, menurut Afrizal, sangat penting. Selama ini pertunjukan di dalam panggung seperti sudah tak lagi berkembang. Hanya teknik panggung yang masih bisa dikembangkan. “Pengalihan setting di ruang publik bisa memberikan warna yang berbeda pada keaktoran masing-masing pemain.”
ISMI WAHID