Tak sekadar tangkas memainkan bola, Vincent de Lavanere--pria yang beraksi di atas panggung itu--juga mahir melakukan berbagai akrobat. Lavanere beraksi gaya salto, melompat, berputar, dan bahkan berdendang juga dilakoninya dengan cukup merdu saat dia memutar bola.
Itulah aksi juggling--salah satu teknik dalam permainan sirkus yang menggunakan bola--yang disuguhkan Lavanere di Gedung Kesenian Jakarta pada Selasa malam lalu. Boleh dibilang pertunjukan sirkus kontemporer bertajuk “Pai Sai” itu menjadi kado cukup spesial buat perhelatan seni akbar Jakarta Anniversary Festival VIII 2010.
Di atas pentas, Lavanere memang hanya menyuguhkan satu teknik sirkus, juggling. Tapi, dengan caranya yang sangat unik dan menarik, seniman bertubuh jangkung asal Prancis itu mengkolaborasikan seni musik dan tari ke dalam pertunjukannya.
Malam itu, pertunjukan terbagi atas tiga bagian. Dibuka dengan pemanasan, Lavanere memulai atraksinya dengan juggling kecil-kecilan, bermodalkan sebuah alat lokal Prancis bernama shisterra, sebuah alat dari bambu yang melengkung.
Lavanere menampilkan pertunjukan juggling sambil bernyanyi. Di bagian kedua, ia mengajak penonton menikmati suara-suara bak mantra yang menghipnotis mereka. Kalimat itu berbunyi, “Datanglah kemari,” ujarnya menerjemahkan seusai pertunjukan.
Baca Juga:
Musik yang mengiringi pertunjukannya juga unik. Musik etnik asal Laos itu seakan mengajak berkelana dari Barat ke Timur. Saat memainkan tiga bola yang diisi lonceng, mirip takraw mini, di situlah musik riang segera diperdengarkan. Aksi juggling-nya pun bisa dinikmati tanpa perlu melihat ke panggung. Cukup rebahkan kepala, tutup mata, dan dengarkan ketukan ritmisnya dengan saksama.
Pada bagian ini, Lavanere hendak menyampaikan bahwa ia telah sampai di Laos. Susunan tali-tali halus yang membentuk sebuah gorden tipis dinaikkan. Itulah pegunungan Laos yang indah. Lalu ia menambahkan aksinya dengan memainkan satu nomor tarian kreasinya yang diadaptasi dari sebuah tarian pedang dari Laos.
Tapi, di atas panggung, tarian itu tidak dibawakan dengan pedang, tapi dengan alat musik tiup dari bambu berbentuk melengkung bernama ken. “Alat musik ini sebenarnya digunakan di Laos untuk kompetisi akrobat dan untuk alat musik ritual kepercayaan lokal,” katanya. “Alat musik itu bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan arwah,” Lavanere menambahkan.
Setelah itu, tirai perlahan-lahan diturunkan, yang menjadi penanda masuk bagian akhir pertunjukan. Sebelas bola disusun di lantai panggung. Lavanere menyebut aksinya itu sebagai pertunjukan musim menanam padi. Dari ujung kanan, ia mulai mengambilnya dan ber-juggling dengan tiga bola berlonceng. Suara kerincing yang beraturan menjadi iringan senandungnya.
Dari tiga bola, bertambah jadi empat, lalu lima, hingga tujuh bola dimainkan sekaligus. Satu ditenggerkan di atas jidat, dan sisanya asyik meluncur bak percikan kembang api di udara. Sesekali ada satu bola meleset dan jatuh. “Seperti memanen padi, pasti ada saja yang tak sempurna,” ujarnya.
Begitulah. Boleh dikatakan pertunjukan sirkus kontemporer malam itu lebih menarik dan menyenangkan dibanding pentas sebelumnya bertajuk “Un loup pour l’homme” oleh Frederic Arsenault dan Alexander Frey. Saat itu, pertunjukan sirkus yang juga dipersembahkan oleh Pusat Kebudayaan Prancis tersebut hanya menampilkan teknik akrobat yang monoton.
AGUSLIA HIDAYAH