Art-narchy, begitulah judul video performance karya Wibowo Adi Utama, 30 tahun. Pemuda di dalam layar monitor yang merusak peralatan metal detector itu tak lain adalah Wibowo Adi Utama sendiri.
“Karya ini merupakan interpretasi saya tentang kondisi Myanmar saat ini. Di bawah pemerintahan militer, semua hal harus lewat pintu sensor, termasuk karya seni,” kata alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 2007 ini.
Sepanjang dua pekan, lima perupa Myanmar dan lima perupa Indonesia menjadi peserta workshop yang diprakarasai oleh New Zero Art Space, Yangon, dan Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Mereka saling merespons kondisi masing-masing negara. Hasil workshop ini kemudian dipamerkan di Rumah Seni Cemeti, 14-30 Juni 2010, bertajuk +ROAD (cross road).
Lima perupa Myanmar yang ikut program workshop ini adalah Aye Ko (Tin Swe), May Moe Thu, Htoo Aung Kyaw, New (Thin Lei New), dan Zoncy (Zon Sapal Phyu). Sedangkan lima perupa Indonesia adalah Wibowo Adi Utama, Doger Panorsa, Ikhsan Syahirul (Ican), Restu Ratnaningtyas, dan Ristyanto Cahyo Wibowo. Kelima perupa kita ini hasil saringan dari 65 pelamar.
Bagi Wibowo, metal detektor adalah simbol Myanmar yang penuh sensor. Lewat karya ini, Wibowo ingin memberikan semangat kepada para perupa Myanmar untuk melawan, mendobrak keterkekangan itu. “Kebebasan sebuah negara, salah satunya, diukur dari kebebasan berkarya. Sebab, peradaban sebuah negara bisa diukur dari karya seninya,” ujarnya.
Situasi berat di Myanmar juga digambarkan perupa Aye Ko (Tin Swe) lewat karya video performance bertajuk No Money, Hungry, Hard Eating. Aye Ko sendiri memerankan seorang yang sedang berupaya keras menjejalkan kertas ke dalam mulutnya lewat video performance berdurasi 11 menit itu. Ia juga menampilkan 20 foto wajah yang mulutnya dijejali kertas.
“Ini pengalaman Aye Ko sendiri yang sempat mengalami kesulitan pangan di negaranya. Saat itu, akibat kelangkaan pangan, orang-orang Myanmar ada yang sampai harus memakan kertas,” kata Direktur Rumah Seni Cemeti, Nindityo, menjelaskan karya salah satu perupa Myanmar tersebut.
Aye Ko dan empat perupa Myanmar memang sudah kembali ke negaranya, meski karyanya masih dipamerkan di Yogya.
Perupa Ristyanto Cahyo Wibowo memilih fokus pada sosok lima perupa peserta workshop. Maka lahirlah karya instalasi berjudul Setrika dan Baju Kebesaran. Karya ini berupa meja kayu dengan kaki sebelah yang lebih tinggi dan setrika yang bertengger di ujung meja, serta pola baju dari kertas ukuran besar yang tertempel di dinding ruang pamer.
Setrika dan meja, menurut Ristyanto, adalah simbol ketatnya urusan adminsitrasi di Myanmar. Mahasiswa Instutut Seni Indonesia angkatan 2008 ini kemudian menjungkirkan meja dengan cara memperpanjang kedua kaki meja di satu sisi. “Ini semacam provokasi bagi teman-teman perupa Myanmar agar tidak patah semangat untuk berkarya,” katanya.
Sedangkan pola baju ukuran besar dimaksudkan sebagai gambaran saat kelima perupa Myanmar itu menikmati kebebasan sesaat selama berada di Yogya. Uniknya, pola baju itu tersusun dari enam pola baju berbagai ukuran (lima untuk perupa Myanmar dan satu untuk Ristyanto). Pola baju ukuran besar itu hasil kolase kertas label dan sketsa buatan para perupa Myanmar yang diberikan kepada Ristyanto. “Itu sebabnya pola baju itu penuh dengan huruf-huruf Myanmar,” Ristyanto menjelaskan.
Menurut Nindityo, materi yang dipamerkan kali ini belum maksimal, mengingat keterbatasan dana dan waktu. “Kalau mereka tinggal di sini selama sebulan, hasilnya tentu akan berbeda,” ujarnya.
Nindityo berencana menggelar workshop lanjutan untuk beberapa perupa. “Dua dari lima perupa Indonesia akan ikut program workshop lanjutan,” katanya.
HERU CN