Yayasan Saramago menyatakan bahwa dia meninggal karena komplikasi berbagai penyakit yang lama dideritanya.
"Saya kira ini sebuah kehilangan yang besar bagi budaya Portugis," kata Perdana Menteri Portugis Jose Socrates kepada wartawan. "Karyanya telah membuat Portugis bangga, kematiannya akan membuat budaya kami kurang kaya."
Baca Juga:
Presiden Anibal Cavaco Silva mengatakan bahwa Saramago "akan selalu menjadi titik acuan dalam budaya kami."
Pemenang Nobel Sastra pada 1998 itu sering memicu kontroversi sepanjang karir panjangnya, karena karya-karyanya sering kali mengkritik keras sejarah, konservatisme dan agama di Portugis.
Tahun lalu, misalkan, Saramago meembuat Gereja Katolik marah karena di saat meluncurkan buku terakhirnya, "Cain", dia menyatakan bahwa Injil adalah "buku pegangan moral yang buruk" dan "sebuah katalog dari apa yang terburuk di alam manusia".
Pertentangannya dengan pemerintah Portugis sering pecah, yang dapat menjelaskan mengapa popularitasnya di luar jauh lebih luas daripada di kampung halamannya. "Dia mungkin lebih dikenal di luar negeri ketimbang di Portugis," kata Batista Bastos, rekannya sesama pengarang.
Saramago kabur ke luar negeri pada 1992 setelah pemerintah Portugis mencabut novelnya, "The Gospel according to Jesus Christ" dari daftar resmi calon penerima hadiah sastra. Sejak itu dia mukim di Lanzarote di Kepulauan Canary. Novel itu, yang menggambarkan Yesus sebagai putra Yosep, bukan Tuhan, dikecam Vatikan dan Saramago menyalahkan pemerintah Portugis atas penyensoran itu.
Saramago memang terkenal di ujung karirnya, tapi tak terbantahkan bahwa dia adalah tokoh sastra modern terbaik Portugis dan karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa. Pada 2008, novelnya, "Blindness", diangkat ke layar perak oleh sutradara Brazil, Fernado Meirelles, dan dibintangi Julianne Moore dan Mark Ruffalo.
Dia menikahi seorang jurnalis Spanyol, Pilar del Rio, yang menerjemahkan buku-bukunya ke dalam bahasa Spanyol.
Iwank | Reuters