TEMPO Interaktif, Jakarta - Ada tempat khusus bagi koreografer muda dan baru untuk berunjuk gigi dalam perhelatan Indonesian Dance Festival (IDF) ke-10 yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sepanjang 14-17 Juni lalu. Namanya "Emerging Choreographers".
Dalam sesi tersebut, lima koreografer baru menampilkan kebolehannya. Joko Sudibyo, misalnya, menyuguhkan Cekrek. Ini komposisi tari parodi yang terinspirasi oleh sebuah rumah yang tak memiliki foto keluarga. Pengalaman ini biasanya terjadi pada keluarga fotografer.
Tarian itu dimainkan secara teatrikal oleh beberapa penari yang kesemuanya laki-laki, meski mereka memerankan tokoh perempuan. Penonton dibuat tertawa manakala peran perempuan bersandiwara menggugat keadaan rumah tangga mereka yang serba kekurangan. Monolog itu diekspresikan dengan tangis yang sangat berlebihan. Dan puncak konflik justru terjadi ketika tokoh ibu, yang disangka marah dengan seluruh anggota keluarganya, tiba-tiba memotret mereka.
Ada lagi karya Nur Sekreningsih yang mengeksplorasi tangga bambu. Tari yang ia beri judul 5,6,7,8 itu melibatkan beberapa penari yang bermain-main pada sebuah tangga besar. Tangga adalah metafor dari waktu. Di sana banyak cerita tentang perjalanan kehidupan manusia dan hubungan antarsesama.
Lalu karya Shinta Maulita bertajuk GAYaku, yang bercerita tentang disorientasi seksual kaum lelaki. Seting nuansa Jawa dengan iringan tembang Jawa sangat kental. Peran lelaki yang ditata menjadi kewanita-wanitaan membuat suasana menjadi sangat riuh.
Dua koreografer lainnya adalah Santi Pratiwi, yang menampilkan Retorika Kerinduan, dan Serraimere Boogie Yasson Koirewoa dengan Bunglon. Boogie mengetengahkan suasana Papua dengan kostum yang sangat mencirikan kekhasan wilayah di Indonesia timur itu.
ISMI WAHID