Malam itu, di atas panggung, Frederic Arsenault dan Alexander Fray tengah memainkan tubuhnya. Mereka bereksperimen bagaimana jadinya jika menyatukan dua tubuh dalam satu media. Dengan mengikat lengan jaket mereka bersimpul mati, tubuh keduanya pun kian berimpit. Bak kembar siam, Arsenault-Fray dempet menjadi satu.
Bagian ini merupakan pembuka pertunjukan Sirkus Kontemporer Un loup pour l’homme di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa malam lalu. Pergelaran sirkus kontemporer yang disuguhkan Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Jakarta itu merupakan bagian dari perhelatan akbar Jakarta Anniversary Festival VIII, yang berlangsung hingga 4 Juli mendatang.
Mengingat sirkus, boleh dibilang masyarakat, khususnya anak-anak, tentu banyak yang tergiur dengan tontonan yang satu itu. Namun penampilan sirkus kontemporer yang disajikan kelompok Un loup pour l'homme dari Prancis itu berbeda dengan sirkus umumnya. Gaya kontemporer yang dibawa di atas panggung malam itu benar-benar nihil badut, apalagi atraksi hewan buas--laiknya sirkus tenda yang tradisional.
Sirkus dari Prancis itu menyuguhkan satu teknik saja. Teknik itu biasa disebut teknik akrobasi. Ini merupakan sebuah trik yang mengedepankan ketangkasan gerak, kesesuaian posisi, dan kelenturan anggota badan. Aktivitasnya terbatas pada menjatuhkan diri, bangkit lagi, susul-menyusul, saling panjat, cekal-mencekal, lalu berlari hingga napas memburu.
Penampilan kelompok sirkus kontemporer itu juga tidak glamor dan gemerlap. Hingga akhir pertunjukan, tata panggung didesain sangat sederhana, tata cahaya pun hanya bermain di warna dasar, dan tata suara yang nihil musik-musik riang. Belum lagi kostum “super” ala kadarnya yang dikenakan kedua penari itu, membuat pertunjukan ini gampang menyentuh rasa bosan, apalagi untuk penonton cilik.
Namun, secara keseluruhan, penampilan sirkus kontemporer tersebut boleh dibilang indah dan memukau. Teknik akrobasi panjang yang mereka suguhkan membuat kita berat untuk beranjak. Mereka tak sekadar tarik-menarik dan tangkap-menangkap. Kolaborasi keduanya kadang bisa menjadi bentuk posisi orang menunggang kuda. Satu penari tengkurap, satunya lagi duduk di atas lipatan kaki penari yang tengkurap tadi. “Kuda” pun berjalan dengan gerakan perut dan tangan si penari yang berperan di bawah itu.
Mereka juga berhasil membuat keseimbangan menawan dengan gaya yang berganti-ganti. “Inilah perbedaan kami dengan sirkus tradisional,” kata Fray seusai pertunjukan.
Sementara sirkus umumnya tersaji dengan ragam tontonan trik berdurasi pendek, sirkus kontemporer umumnya lebih konsisten dengan satu teknik tapi berdurasi panjang. “Sekilas, media yang dipakai adalah baju atau jaket, namun sebenarnya media kami adalah tubuh kami sendiri,” ujar Arsenault menjelaskan.
Penampilan Fray-Arsenault malam itu mengisahkan sebuah persaudaraan yang sarat ambiguitas. Ada kelembutan dan kebengisan di antaranya. Ada gerak dorong-mendorong, namun tak jarang saling menangkap saat keduanya sengaja terjatuh. Lalu, ada gerakan seolah ingin pergi menjauh namun penari satunya bak bayangan yang enggan berpisah.
Tata panggung yang didesain sederhana dan senatural mungkin bisa jadi merupakan salah satu alasan untuk mengkonsentrasikan visualisasi penonton pada dua pemain ini sebagai “orang dan bayangannya”.
Teknik menyatu dalam balutan sepotong pakaian memang bukan tontonan baru. Bagi penikmat tari, teknik ini pernah diperkenalkan oleh Siti Ajeng Soelaeman dan Andara "Anggie" Firman Moeis dalam pertunjukan tari bertajuk S[h]elf di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, bulan lalu.
Saat itu Ajeng dan Anggie menjadi satu dalam balutan kaus longgar. Kaus biru cerah yang dipakai Ajeng ditarik melar masuk ke leher Anggie. Adapun kaus merah jambu yang dikenakan Anggie sudah melilit di lengan Ajeng. Gerakan yang seolah hendak membuka simpul tali yang kusut itu menjadi sebuah adegan tari yang kompak dan menghibur.
Aguslia Hidayah