Saat makin mendekati gawang, sang penggiring bola berhenti sejenak. Matanya tajam menangkap kelemahan kiper hanya dalam hitungan sepersekian detik. Ia bagai seekor ular kobra, diam sesaat lalu bersiap melahap. Dan, blash! Lewat tendangan kaki kirinya, bola itu pun menjebol gawang.
Itulah aksi mematikan Johan Cruijff. Sosok pemain bola Belanda itu bagai dewa penyelamat Barcelona, yang hampir 13 tahun tak pernah menang melawan Real Madrid--salah satu klub raksasa sepak bola Spanyol dan terus menjadi mimpi buruk Barca. Ya, bagi Barca, Cruijff hadir bak hujan di musim kemarau. Ia menjadi bintang sekaligus idola para suporter Catalonia.
“En un momento dado,” tutur Cruijff di depan para wartawan seusai pertandingan perpisahannya dengan Barca pada 1999 itu. Ucapan yang dilontarkan Cruijff itu menjadi ide cemerlang sutradara Ramon Gieling. Kalimat yang berarti “pada saat yang diberikan-(Nya)” itu pun kemudian digarap menjadi sebuah film dokumenter yang dirilis pada 2004.
En Un Momento Dado merupakan satu di antara 14 film bertema sepak bola yang hadir dalam Festival Film Sepak Bola di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta. Festival yang digelar sepanjang 3-6 Juni lalu itu merupakan pemanasan menjelang perhelatan akbar Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan yang akan dimulai besok. “Ini memang saat paling tepat untuk pemanasan, menata pikiran dan hati untuk memasuki musim bola dunia,” kata Direktur Erasmus Huis Jakarta Paul Peters dalam pembukaan festival.
Film dokumenter En Un Momento Dado berkisah tentang periode ketika pemain legendaris Cruijff memperkuat kesebelasan Barca dan dampaknya bagi klub itu, para suporternya, serta warga Catalonia dan Spanyol secara umum. Dalam film tersebut ada 13 orang Spanyol, 10 di antaranya warga Catalonia, yang berbagi kesan tentang Cruijff.
Dalam film tersebut juga disisipkan momen-momen penting dalam karier Cruijff di klub Barcelona sebagai pemain dan pelatih. En Un Momento Dado diakhiri dengan wawancara panjang dengan Cruijff, yang menceritakan momen-momen penting dalam hidupnya.
Selain film tentang Cruijff, dalam festival tersebut hadir film dokumenter legenda bola Argentina, Diego Armando Maradona. Film bertajuk Maradona (2008) itu merupakan karya sutradara Serbia, Emir Kusturica. Film ini berkisah tentang tiga sisi kehidupan Maradona: sebagai pemain sepak bola, politikus, dan seorang kepala keluarga. Film tersebut menyoroti sepak terjang Maradona, dari Argentina hingga Napels, dari Kuba sampai Barcelona, lalu dari prestasi, pandangan hidupnya, hingga kecanduan narkoba.
Kusturica membawa penonton menyusuri kenangan sang idola. Misalnya, pergi ke Buenos Aires, Barcelona, Napoli, hingga Havana. Di tempat itulah, kenangan si Bengal digali satu per satu. Salah satu yang menarik adalah momentum gol "tangan Tuhan" dalam pertandingan melawan Inggris di perempat final Piala Dunia 1986. Gol ini bagi Kusturica adalah gol politis, perwujudan gol balas dendam terhadap keputusan Inggris menyerukan perang di Kepulauan Malvinas.
Kusturica mengolahnya dengan gambar kapal perang Inggris yang tengah membombardir Malvinas. Video itu diselingi pidato Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan.
Begitulah. Selain film-film bola produksi luar negeri, dalam festival tersebut diputar sejumlah film bertema sepak bola arahan sutradara Indonesia. Film-film bola lokal itu lebih banyak menyoroti sisi lain dalam sebuah pertandingan sepak bola.
Andibachtiar Yusuf, misalnya, merekam euforia suporter fanatik dalam film The Jak. Andi juga menyuguhkan film drama percintaan di antara dua suporter berbeda klub, Romeo & Juliet. Lalu ada pula film anak Garuda di Dadaku dan film dokumenter sederhana Duit, Dukun, Dingklik--yang berkisah tentang berdirinya kesebelasan Kediri: Persik.
AGUSLIA HIDAYAH