Ia kemudian pada tahun yang sama membawakan tarian itu ke Paris Opera. Pertunjukan itu sukses, dan menjadi dasar kemudian bagi lahirnya The Afternoon of Faun--koreografi pertamanya yang dipentaskan keliling Eropa dan yang dipandang oleh sejarawan balet sebagai karya yang melahirkan balet modern.
Seratus tahun kemudian, seorang penari topeng klasik Thailand, Pichet Klunchun, berusaha merekonstruksi kembali tari Dance Siamoise itu. Ia melakukan riset mendalam. Ia berusaha mencari rekaman film ataupun suara pertunjukan Dance Siamoise yang utuh. Dan Pichet menyadari bahwa ternyata rekaman demikian sama sekali tak ada. Ia hanya menemukan skor atau partitur asli dari komposer Christian Sinding. Selain itu, ada foto-foto lama--yang sudah kabur--saat Nijinsky latihan.
Berdasarkan data-data yang minim itu, ia berusaha melacak bagaimana gesture yang dilakukan Nijinsky. Pichet berusaha mengira berbagai variasi pose yang dilakukan Nijinsky. Gerakan-gerakan tangan, kaki, dan perpindahan apa yang dilakukan Nijinsky. Pichet juga membayangkan bagaimana tubuhnya sendiri mengulangi gerakan-gerakan itu. Ia sampai pada pertanyaan, apakah yang dilakukannya sekadar ingin mengulang ekspresi tubuh Nijinsky atau merekreasi? Ia sampai pada problem, apakah yang dilakukannya itu bukan bagian dari sebuah orientalisme--seperti banyak dibahas oleh para pengamat permasalahan kolonial?
Baca Juga:
Dan di Victoria Theater, Singapura, pekan lalu, Pichet menyajikan semuanya itu dalam sebuah karya berjudul: Nijinsky Siam. Sebuah world premiere. Panggung mula-mula demikian hening. Di layar yang menjadi backdrop panggung awalnya disorotkan serangkaian alinea yang menerangkan bagaimana awalnya Nijinsky di St Petersburg tertarik pada tari klasik Siam. Teks itu sangat informatif. Teks itu sedikit-banyak membawa penonton masuk ke dalam suasana kesejarahan. Lalu foto-foto hitam-putih Nijinsky disemprotkan ke layar. Kita melihat Nijinsky--masih sangat muda--dalam pakaian penari Thailand. Seluruh bagian tubuhnya diperbesar. Kita melihat layar memperbesar posisi tangan, ekspresi jari-jemarinya, sampai sikap kakinya.
Lalu muncul tiga penari, termasuk Pichet. Mereka membawakan sosok Nijinsky dalam bentuk wayang besar yang di Thailand disebut nang yai. Mereka memperkenalkan diri masing-masing: "Saya Sunon. Saya Padung. Saya Pichet." Lalu mereka menirukan posisi tangan dan kaki Nijinsky yang ada di foto. Gerakan mereka seperti kuda-kuda dengan posisi tangan distilisasi. Mereka juga melakukan adegan jongkok mirip kera, menoleh kanan-kiri, dan berbaris. Sumber koreografi tari klasik Thailand adalah banyak kisah Ramayana. Agaknya Pichet dan kawan-kawan mencari-cari kemungkinan dari gerak Ramayana apakah juga diambil oleh Nijinsky.
Hampir selama setengah jam adegan sama sekali tanpa musik--kecuali tepuk tangan tiba-tiba yang cukup membuat kaget penonton yang mengantuk. Tiba-tiba di layar disorot foto-foto Nijinsky tengah meloncat. Ketiga penari kemudian ikut meloncat-meloncat seolah menirukan gerak Nijinsky. Lalu suara piano masuk. Suara piano itu demikian suasana murung, muram. Adakah itu partitur yang dibuat Christian Sinding?
Kita melihat kemudian foto-foto yang diperbesar lebih detail. Pola kaki Nijinsky ketika berdiri dan juga saat duduk. Foto-foto Nijinsky setengah badan dalam kostum penari Siam. Kita lalu melihat rangkaian foto Raja Thailand, keluarga bangsawan Siam, dan kuil-kuil Negeri Gajah Putih. Sebuah Thailand pada masa lalu yang samar-samar. Kita kemudian membaca sebuah surat Pichet kepada Nijinsky yang tertulis besar di layar: "I think I know your secret, Mr Nijinsky."
Keberhasilan pertunjukan ini adalah mampu membawa penonton membayangkan bagaimana gairah Nijinsky mempelajari tarian Thailand saat itu. Foto-foto Nijinsky dalam pakaian Thailand dan topi--yang seperti topi untuk tidur--itu mampu melemparkan kita ke masa silam saat ia latihan. Nijinsky tampak gembira. Di foto itu, ia banyak tersenyum. Ia terlihat energetik.
Panggung menjadi permainan memori, yang menyodorkan keintiman antara tiga penari dan sosok Nijinsky. Pertunjukan Pichet ini tak jatuh ke dalam suatu eksotika, namun sebaliknya terasa analitis. "Saat pertunjukan berakhir, saya merasa Nijinsky sendiri hadir di panggung," kata koreografer kenamaan Taiwan, Lin Hwai Min, yang ikut menonton.
Pichet Klunchun sendiri pernah datang ke Indonesia--mengikuti Indonesian Dance Festival pada 2008. Bersama koreografer Jerome Bel dari Prancis, ia menyajikan sebuah pertunjukan. Siapa pun yang melihat pertunjukan mereka pasti akan berpendapat, inilah pementasan teraneh sepanjang sejarah Indonesia Dance Festival. Hampir selama satu setengah jam mereka bukan menari, namun hanya omong-omong di atas panggung.
Saya ingat, Jerome Bel duduk di kursi dan berdiskusi dengan Pichet tentang perbedaan posisi serta sikap tubuh antara penari balet dan penari Thailand. Mereka berbicara tentang filsafat yang melatari balet dan tari klasik Siam. Sesekali Pichet memperagakan gerak-gerak tari klasik Thailand. Tontonan mereka tak umum, namun terasa mencerahkan. Malah boleh dibilang salah satu penampilan terbaik di Indonesia Dance Festival. Terasa mereka berusaha mencari perbedaan-perbedaan, tapi juga benang merah antara Barat dan Timur.
Rekonstruksi Pichet atas Nijinsky ini sendiri bisa memberikan inspirasi bagi para koreografer kita. Bila Nijinsky tertarik pada tari klasik Siam, kita juga tahu bahwa banyak seniman Eropa sezaman dengan Nijinsky yang terpukau pada tari Indonesia. Antonin Artaud, misalnya, pada 1931 tergetar hatinya ketika menyaksikan tarian Bali yang disajikan di Expo Colonial Marseille. Dramawan ini kemudian menulis sebuah buku berjudul Theatre and Its Double, yang banyak mengulas kekuatan trance theater Bali--dan memberikan pengaruh luas pada perkembangan teater eksperimental dunia. Dalam bayangan saya, kita, misalnya, bisa membuat sebuah karya pertunjukan bertema keterpesonaan Artaud--yang menampilkan di panggung foto-foto lama para penari kita di Expo Colonial--seperti Pichet merekonstruksi Dance Siamoise.
| Seno Joko Suyono (Singapura)