Tapi, sebelum Anda bisa mulai mengubah hubungan, warga Arab di Israel perlu tahu siapa mereka sebenarnya. "Anak muda kita mengalami krisis identitas," kata Abu Shakra. "Kita perlu menghormati sejarah dan kenangan masa lalu. Kita perlu menciptakan ruang bagi orang untuk datang dan belajar."
Abu Shakra berpendapat bahwa sejak didirikannya negara Israel, "tidak ada hal penting yang dilakukan oleh penduduk Arab untuk melestarikan sejarah mereka." Itulah mengapa para pekerja dari galeri yang terletak di Umm el-Fahem, kota Arab terbesar kedua Israel, mengambil alih "tanggung jawab untuk membangun kembali, menghimpun, mempelajari, mengenang dan menyajikan semua yang sebelumnya rusak, yang berkaitan dengan budaya Arab dan Palestina."
Dalam perjalanannya, galeri mulai mengubah hubungan antara orang Yahudi dan Arab.
Abu Shakra memberi contoh gamblang bagaimana perubahan ini terjadi. Pada Oktober 2000, 12 warga Arab Israel dan seorang lelaki dari Gaza dibunuh oleh aparat polisi dalam unjuk rasa di Umm el-Fahem karena menentang tindakan balasan Israel terhadap Intifada ("pemberontakan" Palestina) kedua. "Peristiwa itu menyebabkan krisis antara orang Arab dan Yahudi di sini, barang kali yang terburuk sejak didirikannya Israel," kata Abu Shakra. "Orang Yahudi tidak akan datang ke Umm el-Fahem lantaran rasa takut dan was-was."
Galeri seni ini segera menanggapi. Mereka memprakarsai sebuah pameran yang dinamai "In House". Dua puluh seniman muda Yahudi dan Arab menampilkan karya mereka di rumah-rumah warga di seantero kota. "Selama dua bulan, orang Yahudi yang datang ke pameran memasuki rumah-rumah orang Arab dan bertemu dengan keluarga-keluarga Arab. Ini membantu orang Yahudi dan Arab saling bertatap mata dan mengatasi ketakutan. Acara ini sangat sukses," kata Abu Shakra.
Selain itu, dengan menampilkan karya seni dari seniman Yahudi, Abu Shakra yakin galeri ini membantu meredam prasangka orang Arab terhadap orang Yahudi. "Pameran-pameran memberikan kesempatan luar biasa bagi para pengunjung Arab untuk berdialog dengan seniman Yahudi, bertatap muka dengan mereka dan bahkan terlibat dalam proyek bersama," katanya.
Yang juga menarik, meskipun banyak seniman Palestina menolak memajang karya seni mereka bersanding dengan para seniman Yahudi, sikap mereka sering berubah ketika sudah bertemu dengan orang-orang Yahudi yang mengunjungi pameran. Orang-orang Palestina bahkan menjual karya seni mereka ke orang-orang Yahudi itu.
Hasilnya, galeri ini telah menjadi tempat bertemu bagi para seniman Yahudi, Arab dan internasional. Galeri ini secara rutin memamerkan seni kontemporer, tidak hanya dari Israel, tapi juga dari wilayah Palestina dan seluruh dunia. Bulan ini, misalnya, mereka menggelar Simposium Keramik Internasional dengan para pemahat dari Amerika Serikat, Turki, Azerbaijan dan Israel.
"Para seniman terdorong untuk bertemu dan saling belajar tentang budaya, sejarah, kepedihan dan aspirasi orang lain," ujar Abu Shakra.
Galeri ini juga mengadakan sejumlah kegiatan pendidikan dan budaya, kursus seni dan tari, dan perkemahan musim panas untuk anak-anak.
Kini para pekerja di Umm el Fahem berharap bisa membangun museum seni kontemporer Arab pertama di Israel. Ide ini didukung oleh Museum Tel Aviv dan Museum Israel di Yerusalem. Tanahnya telah disediakan dan tiga arsitek Israel telah ditugasi membuat desain proyek ini.
Abu Shakra kini tengah menggarap tugas besar menggalang dana US$ 15 juta untuk menuntaskan mimpinya. "Museum itu akan menjadi 'Ledakan Besar' kami yang akan memberi warga wahana baru dalam menghadapi krisis. Museum ini akan memberdayakan kota, dan akan menciptakan generasi baru dengan identitas dan jalan hidup yang lebih jelas," kata dia.
Carin Smaller (pakar hukum internasional). Artikel ini disiarkan CGNews.