TEMPO Interaktif, Seorang anak asyik mencoret-coret tembok. Dengan kapur putih, yang dicuri dari toko kelontong milik orang tuanya, ia menghiasi tembok itu dengan pelbagai wajah, figur, dan pemandangan. Sepak terjangnya tersebut berbuah pujian karena lukisannya indah dan memberikan hiburan. Tapi lebih sering lagi ia mendapat omelan karena mengotori lingkungan.
Begitulah kehidupan Made Budhiana kecil seperti tertuang dalam buku Melintas Cakrawala, yang diluncurkan akhir pekan lalu bersamaan dengan pembukaan pameran tunggal karya-karya mutakhirnya. Buku yang ditulis I Wayan Suardika tersebut merekam jejak pelukis abstrak itu sekaligus latar belakang kesetiaan Budhiana dengan gaya melukisnya tersebut.
Lahir di pusat Kota Denpasar, Bali, 27 Maret 1959, Budhiana menjadi saksi perubahan kota ini. Rumahnya yang berdekatan dengan Puri Satria memberi dia kesempatan menyaksikan pertunjukan kesenian dan upacara besar di bekas pusat kekuasaan Raja Denpasar itu. Bergeser ke selatan sedikit, terdapat Bali Hotel, hotel pertama di Bali tempat persinggahan para turis mancanegara.
Rumahnya di Jalan Veteran juga berdekatan dengan Jalan Gajah Mada dan Pasar Badung yang menjadi pusat aktivitas ekonomi. Di tempat itu pula terdapat bioskop-bioskop yang memutar film Barat, film India klasik dengan kisah Ramayana dan Mahabharata, serta film silat dari Cina.
Dalam keseharian, ia juga dibesarkan dalam suasana lintas agama karena keyakinan yang dianut oleh saudara-saudaranya sudah sangat beragam. “Kalau Lebaran saya ikut silaturahmi, kalau Natal sering diajak ke gereja,” kata Budhiana, yang menganut Hindu.
Selain suasana itu, yang sangat berperan mempengaruhi jalan hidup Budhiana memilih jalur seniman adalah keberadaan Indonesian Art Gallery, yang berdampingan dengan rumahnya. Ini adalah galeri pertama di Denpasar yang menjadi tempat para seniman memajang dan menjual karya mereka. Salah satunya adalah pelukis realis Dullah yang selalu diiringi para muridnya.
“Mereka yang menghasut saya berangkat kuliah ke Institut Seni Indonesia Yogyakarta,” ujar pria berambut gondrong itu. Pilihan Budhiana untuk terjun ke dunia seni kian terpacu setelah ia mengetahui bakatnya saat duduk di Sekolah Lanjutan Umum Atas Saraswati, Denpasar.
Budhiana pun merantau ke Yogyakarta untuk mengenal dunia seni rupa yang lebih luas. Dia mengenyam pendidikan formal mengenai teknik melukis seraya bergiat dalam pergaulan para seniman di Kota Gudeg tersebut. Saat itu pada awal 1980-an dunia seni di Yogya tengah mendidih dengan kelahiran seniman sekaliber W.S. Rendra, Umbu Landu Paranggi, dan Emha Ainun Najib. Gelora itu pun menyengat kelahiran perupa-perupa muda untuk bereksperimen dan mencari gayanya.
Budhiana memulai langkahnya dengan bergabung ke Sanggar Dewata Indonesia (SDI) untuk membuka jalan ke ruang yang lebih luas. SDI adalah tempat para mahasiswa dan seniman Bali berkumpul untuk mencari kemungkinan baru dalam seni rupa. Kelompok ini kemudian mencuat dengan keberhasilan mengangkat ikon-ikon Bali menjadi bahasa visual yang khas dalam kancah seni rupa. Seperti yang dilakukan oleh Nyoman Gunarsa dengan lukisan penarinya, Wayan Sika dengan simbolika pewayangan, dan Nyoman Erawan yang memanfaatkan perlengkapan upacara.
Satu hal yang berbeda pada Budhiana, obsesinya saat itu justru ingin membebaskan diri dari cengkeraman hegemoni Bali dalam dirinya. “Sejak awal saya merasa tidak mewakili Bali dengan segala kemegahan tradisinya,” katanya. Ia merasa keindahan budaya Bali sudah sedemikian terkonstruksi dan menghadirkan batasan-batasan imajinasi yang ketat.
Menurut Budhiana, ia lebih terpengaruh oleh kekaguman pada budaya cowboy yang dilihatnya di film-film Barat dengan kebebasan dan naluri bertahan hidup--meski kadang terlihat kasar dan keras. Dari film India, ia belajar mengenai filosofi baik dan buruk serta benar dan salah yang kadang menjadi ruang dilema dalam kenyataannya.
Meski pada awalnya Budhiana masih meminjam simbolika tradisi dalam rerajahan yang digunakan para balian (dukun) untuk menyembuhkan pasien mereka, dia akhirnya mendekonstruksi rerajahan itu sebagai inspirasi bentuk belaka. Yang terlihat kemudian adalah gaya abstrak untuk mengungkap visi dan persepsinya mengenai suatu obyek. Warna-warna gelap yang sarat dengan kesan mistis pun ditinggalkan dan lukisannya menjadi bidang bagi cahaya yang menari dalam warna-warna cerah serta garis-garis yang menari gemulai.
Gaya Budhiana itu bisa dinikmati dalam karya-karyanya yang dipamerkan di Maha Art Gallery, Sanur, Bali, hingga 26 Juni mendatang. Karakter lukisannya sangat jelas terlihat dalam karya, antara lain, Suara-suara Alam (2008), Tebing-tebing Perjalanan (2009), dan Dinamika Energi (2010).
Menurut kurator Putu Wirata, setelah berusia 51 tahun, warna dan garis Budhiana semakin matang. ”Tidak lagi meledak dan penuh emosi,” ujarnya. Meski begitu, menurut Wirata, kelincahan dalam menafsirkan kenyataan tetaplah terjaga. Tafsir itu menghadirkan gaya yang khas dan menyatu dengan kepribadian pelukisnya.
ROFIQI HASAN