TEMPO Interaktif, Bulan sabit kuning tergantung di langit cokelat tua kehitaman. Sinarnya tak cukup kuat untuk menerangi seluruh bangunan yang berjejer horizontal. Malam itu, garis-garis kuning senada hanya berjalan di tepi-tepi atap dan samping rumah, kubah, kerucut menara, dan jendela-jendela Colosseum Roma.
Tapi suasana yang tampak tenang itu berubah mencekam. Sesosok bayangan rangka dinosaurus yang berjalan dengan dua kaki belakang melintas di wajah kota. Tubuhnya menjulang ke langit hingga kedua kaki depannya setinggi posisi bulan.
Begitulah cara seniman Italia, Enzo Cucchi, menggambarkan ibu kota negaranya. Gambar grafis berjudul Roma buatan 1991 itu dicetak di atas kertas 136 x 261 sentimeter. Pada seri karya lain bertajuk La Lupa di Roma (Serigala Roma) I-III, Cucchi menampilkan kuburan dan tengkorak-tengkorak hewan dengan gaya agak abstrak.
Selain itu, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, sepanjang 29 Mei-22 Juni mendatang memamerkan 25 seni grafis, di antaranya karya Francesco Clemente dan Julian Schnabel. Bertajuk The Doublefold Dream of Art: 2 RC Between the Artist and Artificer, pameran di Selasar itu khusus menampilkan sebagian karya seniman grafis dunia yang pernah menghidupkan semangat transavant-garde. “Sekarang sudah enggak ada, tinggal post-avant-garde atau akhir dari garda depan,” kata pengamat seni Rizki A. Zaelani.
Menurut dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung itu, transavant-garde muncul pada 1980-an. Aliran hasil diskusi kritikus seni Achille Bonito Oliva dengan sejumlah seniman tersebut menyebar dari Italia ke daratan Eropa, juga merambah ke seni grafis, patung, juga lukis.
Ciri khasnya, antara lain, gambarnya bergaya agak abstrak dengan beberapa obyek figur seperti orang, binatang, dan tumbuhan, tapi memakai narasi. “Narasi yang muncul dari masa lalu berupa mitologi, sejarah, atau cerita lokal di Italia,” Rizki menjelaskan.
Di Indonesia, aliran yang hampir mirip transavant-garde itu berkembang dengan istilah narasi tradisi. Misalnya, beberapa pelukis kontemporer mengambil seni dari Aceh. Bedanya, menurut Rizki, seniman Indonesia tak pernah menyatakan sebagai avant-garde (garda depan), pihak yang mendahului masyarakat tentang pengertian karya seninya.
Dalam pameran hasil kerja sama dengan Kedutaan Besar Italia, Kamar Dagang Italia, serta Pusat Kebudayaan Italia itu, karya grafis yang terpajang merupakan salinan dari karya asli. Catatan dengan pensil yang hampir tak terlihat di pojok bawah seluruh gambar menunjukkan karya itu telah digandakan belasan hingga puluhan kali.
Hebatnya, pencetakan ulang 25 gambar grafis oleh perusahaan 2 RC milik Valter dan Eleonora Rossi di Roma, Italia, itu hasilnya sangat mirip aslinya. Untuk sedikit membuka rahasia tersebut, dua lempeng pelat cetakan ikut pula ditempelkan pada dinding Galeri B Selasar. Letaknya berdekatan dengan gambar berjudul Imagine Oscura karya Enzo Cucchi dan Friendship buatan Francesco Clemente.
Di Italia, penggandaan seni grafis oleh mesin cetak khusus itu merupakan hal yang lazim. Kemajuan teknologinya memungkinkan mesin dan para pembuatnya tak hanya akurat menyalin ulang pewarnaan dan garis, tapi juga motif terperinci gambar, seperti pada karya seri Julian Schnabel berjudul Pandora dan Flamingo. Lekuk embos, sobekan, serta lubang-lubang pada kertas karya pun bisa dibuat mudah.
Proses langka penciptaan karya seni itu membuat pengunjung yang datang berduyun-duyun saat pembukaan pameran pada Sabtu malam pekan lalu terkagum-kagum. Tak terkecuali tuan rumah Sunaryo. Perupa berusia 67 tahun yang pernah mengeksplorasi kertas di Singapura itu terpesona oleh sapuan cat air yang tipis dari mesin cetak hingga tampak tembus pandang. “Juga efek rembesan catnya pada kertas,” katanya.
Di sela pameran, kurator Achille Bonito Oliva rencananya akan datang untuk memberikan kuliah umum tentang aliran transavant-garde di Bale Handap Selasar Sunaryo pada 5 Mei mendatang. Acara menjelang perayaan Hari Nasional Italia pada 2 Juni itu juga akan menggelar pameran karya puluhan seniman Italia di Galeri Nasional Jakarta pada 4-24 Juni nanti. Lalu, di Sangkring Art Space, Yogyakarta, pada 11-20 Juni mendatang bakal disajikan karya seniman Amerika dan Inggris.
ANWAR SISWADI