Tari itu ditampilkan sebagai bagian dari ritus suci Bumbungan suku Sahu di Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, 26 Mei lalu. Seluruh rangkaian ritus itu dilaksanakan selama 7 hari 7 malam dan ditutup dengan pesta makan adat. Selama upacara berlangsung, warga juga memainkan alat-alat musik tradisional, seperti didiwang, yaitu alat musik yang terbuat dari batang pohon kelapa dan mempunyai panjang mencapai 2 meter.
Ritus yang digelar sepuluh tahun sekali itu termasuk tradisi tua suku Sahu yang masih lestari di bumi Halmahera. “Suku Sahu tua biasa mengenalnya dengan nama ritus Sosadu Mawanat,” kata Julianus Siwa, 67 tahun, Kepala Desa Gamtala, Halmahera Barat.
Upacara itu ditujukan terutama untuk menaikan sebuah bumbungan rumah adat Jaromaoko, tapi sekaligus untuk menyatukan kekuatan semua generasi suku. Kekuatan yang disatukan, kata Julianus, dipergunakan untuk membangun desa demi mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Namun, untuk penyatuan itu hanya dapat dilakukan dalam prosesi ritual di satu tempat yang bisa menampung seluruh warga desa. Tempatnya pun dikenal dengan nama rumah adat Sosadu, yang tetua suku Sahu biasa sebut sebagai rumah Juanga Tego-tego (perahu darat). “Letaknya ada di tengah desa dan bisa menampung 500 orang,” ujar Julianus.
Menurut Thomas Salasa, 76 tahun, Ketua Adat Suku Sahu Satuan Gamtala, sejarah ritus Bumbungan berawal dari pertempuran laut pasukan perang Raja Mome-Naken (1417-1427) melawan penjajah. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Raja Mome-Naken, yang mengunakan kapal laut dengan anjungan depan berkepala kuda, akhirnya memenangi peperangan. “Untuk merayakan kemenangan tersebut dibuatlah rumah adat Sosadu dangan prosesi Bumbungan selama seminggu,” kata Thomas.
Rumah adat Sosadu, kata Thomas, hanya diisi alat musik Didiwang dan gong serta tifa yang diletakan persis di tengah rumah. Tujuannya agar bunyi-bunyian alat musik tradisional itu dapat didengar oleh semua warga desa. “Ini simbol pesta tetua kami yang harus dilestarikan,” ungkap Thomas.
Adapun Imawan Surya, sejarawah Maluku Utara, menganggap nilai lokal Maluku Utara yang terbungkus dalam semangat Ngone Foturu pada umumnya hanya berlaku di kalangan masyarakat adat. Kalangan tersebut rata rata masih mendiami bumi Halmahera, tapi semua ritus yang kerap dilakukan leluhur hanya dijadikan sebagai sebagai upacara seremonial yang momentumental. Jadi, ritus adat hanya dilakukan pada momentum tersendiri. “Seperti ulang tahun kabupaten. Padahal, dulu setiap ritus dianggap sakral dan hanya dilakukan 10 tahun sekali,” kata Imawan.
Bupati Halmahera Barat Namto Hui Roba mengatakan, tradisi masyarakat lokal di Halmahera Barat pada umumnya masih lestari. Setiap kegiatan ritus adat dilakukan sendiri oleh masyarakat adat. "Tidak ada kegiatan adat yang diarahkan pemerintah. Semuanya atas dasar kemauan mereka,” ujar Namto.
Di Halmahera Barat, kata Namto, ritus yang masih terjaga hingga saat ini adalah ritus yang dilakukan suku Sahu, seperti ritual Bumbungan. “Hampir semua desa yang dihuni suku Sahu selalu melakukan ritus ini,” katanya.
Budhy Nurgianto