Selamat datang buat The Team, drama 28 seri yang baru-baru ini diproduksi di Palestina, dan akan segera ditayangkan melalui jaringan televisi Palestina, Ma'an.
Musim gugur lalu, saya berangkat dari Yerusalem untuk bertemu dengan pencipta seri tersebut dan menyaksikan sebagian proses pengambilan gambarnya. Saya bertemu dengan pencipta, penulis sekaligus sutradara serial tersebut, Nabil Shoumali, yang belajar film di Praha. Ia pernah menjadi sutradara dan produser Sesame Street versi Palestina. Selama pemutaran episode pertama, Shoumali berseloroh bahwa The Team adalah "sinetron untuk perubahan sosial".
Memang ada serial TV lain yang juga menyoroti lika-liku dalam klub sepak bola, seperti Dream Team (Inggris) dan The Champion (Israel), tetapi mereka menekankan hubungan asmara dan perebutan kekuasaan. Aspek-aspek itu juga ada dalam The Team, tapi penekanan utamanya pada realitas politik dan sosial orang Palestina di bawah pendudukan, dan juga keinginan kuat untuk menyelesaikan masalah dengan kreatif dan damai menjadikan program ini sebuah karya seni yang menggugah.
Peristiwa-peristiwa politik yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari orang Palestina, termasuk kesulitan ekonomi, perampasan tanah dan gerakan perlawanan, terjalin dengan apik dalam alur cerita. Kita melihat akibat dari tingginya tingkat pengangguran pada dua pemain bola, Tony dan Hakim, yang menyusup ke Israel untuk mendapatkan pekerjaan meski risikonya amat tinggi. Pemain yang lain, Abu Ayaaed, lari dari tentara Israel; sedangkan Ahmed tertembak peluru karet ketika berdemonstrasi dan kemudian ditahan oleh serdadu Israel.
Relasi gender juga menjadi tema penting dalam sinetron ini. Ada beberapa karakter perempuan kuat, seperti Zeinah, ibu dari salah satu pemain. Setelah suaminya meninggal, ia memutuskan untuk tidak menikah dengan iparnya, seperti yang menjadi kebiasaan di sana, melainkan melanjutkan kuliahnya di Universitas Betlehem.
Tanpa mengorbankan aspek cerita atau hiburan, Shoumali dan para pembuat serial ini menekankan supremasi hukum dan kebebasan untuk berkumpul, tantangan yang dihadapi oleh perempuan, resolusi konflik secara damai dan pentingnya meraih impian.
Menempatkan klub olah raga sebagai pusat cerita membangkitkan sejarah olahraga Palestina pada masa awal ketika klub-klub menjadi pusat kegiatan politik dan budaya sekaligus pembangunan identitas. Potongan-potongan arsip dalam serial ini membantu menunjukkan efek peristiwa-peristiwa besar seperti peristiwa Nakba pada 1948--hijrahnya sekitar 750.000 orang Arab Palestina karena perang sipil, dan pendirian Israel sebagai negara modern--terhadap sepak bola.
Dalam The Team, para pemain sepak bola ini aktif dalam komunitas mereka seperti dalam kegiatan untuk orang cacat. Sebagaimana yang terjadi baru-baru ini pada tim nasional Palestina yang kehilangan anggotanya karena serangan dan penangkapan Israel, beberapa anggota klub sepak bola fiktif ini juga ada yang dipenjarakan.
Kita melihat anak-anak bermain di jalan-jalan seperti anak-anak lain di seluruh dunia, dengan kaos-kaos yang bertuliskan nama-nama bintang sepak bola. Selain itu, cara bagaimana individu berbaur dengan tim dengan tujuan yang sama menunjukkan misi serial ini untuk mendorong terbentuknya persatuan dalam masyarakat yang lebih luas.
"Kami ingin mengalirkan nilai-nilai perdamaian dan untuk itu yang kita butuhkan adalah mencoba meyakinkan, bukan memaksa," tutur Shoumali, yang mantan Marxis ini. Ia juga menekankan pentingnya hidup bersama dengan orang Israel dan pentingnya komunikasi serta kedua belah pihak mengakui kemanusiaan pihak lain. "Perang membunuh semua peradaban. Mimpi kita harusnya terhubung," ujarnya.
"Orang Palestina selalu memperlihatkan para korban dan kejamnya pendudukan," ujar Raed Othman, direktur Ma'an, kantor berita nirlaba independen di Palestina yang ikut memproduksi serial ini. "Kondisinya memang menyedihkan, tapi kami ingin menumpukan perhatian pada kehidupan personal, apa yang terjadi di rumah, hubungan antarmanusia. Kami menghadirkan citra baru mengenai orang-orang Palestina. Banyak orang di Barat yang menganggap orang Palestina sebagai orang-orang jahat. Dengan drama ini kami berbicara tentang mimpi-mimpi kami, bagaimana kami membangun sesuatu bersama, bagaimana kami jika memiliki negara sendiri, dan kekuatan kelompok untuk membangun masa depannya. Tim sepak bola dalam cerita ini mewakili masyarakat Palestina."
The Team diproduksi bersama dengan Search for Common Ground, organisasi internasional transformasi konflik yang salah satu programnya membantu memproduksi program radio dan televisi yang menawarkan pandangan alternatif mengenai konflik. Ternyata, di Israel dan Palestina, seperti juga di banyak tempat di mana ada permusuhan antaretnis, sepak bola tetap menjadi bahan perbincangan alamiah dan bahasa yang sama.
ALON RAAB (pengajar di UC Davis di California dan salah satu pengarang buku The Global Game: Writers on Soccer (University of Nebraska Press)). Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground.