Itulah yang terjadi pada pameran bertema “Ruang Berikutnya” di Sangkring Art Space, Bantul, Yogyakarta, sepanjang 11-31 Mei 2010. Pameran ini diikuti 21 perupa muda, yang oleh Kris Budiman, konseptor pameran, disebut sebagai “perupa pinggiran”.
Perupa Anto Sukamto, 26 tahun, menerjemahkan ruang sebagai rentang waktu yang harus dijalani manusia. Untuk menghadapinya, butuh bekal dan strategi seperti halnya ketika bermain sepakbola. Itu sebabnya, mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jurusan Kriya Tekstil ini memberi judul karya instalasinya 3-5-2, layaknya strategi dalam permainan sepakbola.
Memanfaatkan kain spanduk bekas, yang kemudian ditenun ulang dengan Alat Tenun Bukan Mesin, Anto membuat tiruan garis-garis lapangan sepakbola dengan ujung membentuk rumah. Sebuah manekin berbaju tenunan kain bekas spanduk, berdiri di belakang garis lapangan. Di belakang manekin, bergantungan sejumlah tas, juga terbuat dari kain.
Tas, menurut Anto, melambangkan bekal yang diperlukan seseorang untuk mengarungi kehidupan. Adapun lapangan bola adalah simbolisasi strategi. “Jadi, untuk menghadapi masa depan, orang butuh bekal dan strategi,” katanya menjelaskan.
Lain lagi dengan Rennie “Emonk” Agustine Ferdianti dan Lasita Situmorang. Mereka justru bicara soal kematian. Melalui karyanya yang berjudul Room No 1, Rennie menghadirkan sebuah peti mati berwarna hitam dengan tiruan tulang-belulang di dalamnya. Uniknya, peti mati hitam itu tak terbuat dari kayu, melainkan dari kain berbulu berwarna hitam pekat.
Meski bicara soal kematian, Rennie tak hendak menampilkan kengerian. Ia justru menganggap kematian sebagai sebuah kelucuan. “Toh, suatu saat kita akan ke situ juga,” ujar alumnus IKP Bandung tahun 2006 ini.
Soal kematian juga disajikan Lasita Situmorang dengan cara yang berbeda. Ia membuat jalinan jaring laba-laba dari sayatan rotan. Sejumlah kupu-kupu warna hitam terjebak dalam jaring laba-laba itu.
“Emonk dan Lasita sama-sama bicara tentang kematian dengan cara yang enteng. Kupu-kupu hitam yang terjerat jarring laba-laba pada karya Lasita, justru berfungsi menjadi dekor yang menarik,” kata Kris Budiman.
Menurut Kris, pameran “Ruang Berikutnya” ini menjadi menarik, karena para perupa menerjemahkan tema pameran secara fleksibel. “Mereka bisa eksplorasi tema dengan leluasa,” ujarnya.
HERU CN