TEMPO Interaktif,
Jakarta -
Tak sulit bagi Heru Kesawa Murti untuk menuliskan idenya sehingga
menjadi naskah Pandol, yang kritis menggelitik. Meski begitu, ia
banyak dibantu oleh sebagian besar pemain teater gaek, seperti Butet
Kertaradjasa, Djaduk Ferianto, maupun Susilo Nugroho. "Di Teater
Gandrik memang semacam itu. Naskah selalu didiskusikan, cukup logis
atau tidak," kata Heru.
Lakon Pandol merupakan sekuel kedua dari kisah korupsi
serupa berjudul Upeti, yang juga ia tulis. Upeti pernah
dipentaskan oleh Teater Gandrik di Gedung Kesenian Jakarta pada
1989. Bedanya, Upeti bercerita tentang korupsi uang retribusi di
sebuah kabupaten. Saksi utama kasus tersebut meninggal, sehingga petu
gas pemeriksa terus mencecar sang istri.
Pandol berlatar tahun 2014. Heru berangan-angan mengangkat
sisi lain dari kasus korupsi yang modusnya saat ini semakin
njelimet. Ide Heru disambut baik oleh Butet, yang kemudian
memfasilitasinya dengan memperkenalkan dengan Teten Masduki,
Ketua ICW. Banyak cerita dan pandangan tentang korupsi, termasuk
tragedi yang dialami korban korupsi. "Banyak tekanan mental yang
luar biasa dialami oleh korban korupsi," ujarnya.
Heru seolah menempatkan panti rehabilitasi mental ini sebagai sesuatu
yang mampu melawan korupsi. Gagasan yang sangat lugu dan seder
hana. "Tetapi hal ini tak kan mungkin terjadi," katanya berseloroh.
Naskah ini ia selesaikan selama dua bulan. Heru merasa sangat ter
bantu oleh usulan kawan-kawannya. Bahkan Heru tak menolak ban-
tuan besar Susilo Nugroho untuk berimprovisasi penuh dalam perca
kapan saat petugas pemeriksa mencecar Bupati Kotabulus. "Naskah
kan yang melihat bukan hanya saya, tapi juga orang lain. Semangat
itulah yang selalu saya pegang," ujarnya.
ISMI WAHID