TEMPO Interaktif, Bandung - Cekungan luas itu tampak berpendar ketika malam. Terangnya membuat kontras lingkaran pegunungan di sekelilingnya yang gelap gulita. Bak kerumunan jutaan kunang-kunang, itulah Bandung, Jawa Barat, yang sedang mandi cahaya. Terlihat cantik dari atas pegunungan di kampung Daweung Moko, Padasuka.
Siapa pun yang membawa kamera ketika berada di atas sana, pasti ingin mengabadikan keindahannya. Begitu pula Romain Osi, seorang fotografer asal Prancis ketika mencari angin di Bandung. Dengan lensa lebar, lansekap cekungan bekas dasar danau purba ketika malam itu ia jepret berkali-kali. Sebagian hasilnya kini tengah dipamerkan di tempat terbuka.
Di pinggir Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, tepatnya di seberang gedung Bank Indonesia, terpampang 25 karya fotonya yang diperbesar dengan panjang masing-masing sekitar 1-1,5 meter. Bertajuk "Keluyuran", Romain memang sengaja datang ke Bandung untuk menangkap denyut kota itu dari beberapa tempat.
Masih dari atas pegunungan, fotografer kelahiran 1980 itu membidik rumah penduduk desa yang dinaungi cahaya redup. Seakan ia ingin membandingkan ketenangan kampung dengan keriuhan kota di bawahnya. Tak cuma melihat Bandung dari atas, lensanya juga ikut menyergap pusat-pusat denyut kota seperti kawasan alun-alun, Jalan Dago, juga Jalan Merdeka.
Bagi fotografer independen itu, malam rupanya menjadi waktu yang tepat untuk menangkap wajah kota. Sepenggal waktu ketika banyak pendatang beranjak pulang dan penghuninya rihat. Seperti dua pedagang di alun-alun Bandung yang tengah mendorong gerobaknya dengan latar kelebat sinar lampu memanjang bergaris horisontal.
Tapi ada pula sebagian anak muda, yang masih asyik bermain skateboard di pinggir jalan. Di sisi lain kota, gedung-gedung tua juga akar pepohonan kekar menjadi penanda waktu sekaligus saksi bisu sejarah. Itulah potret sebuah kota yang dibuat seketika.
Sebelum keluyuran di Bandung, anggota agensi perkumpulan fotografi Picture Tank itu sempat singgah di Pnom Penh, Rio de Janeiro, dan Havana. Berbekal kamera digital, Romain berkelana sambil membonceng sepeda motor.
Menurut Hawe Setiawan, dalam kata pengantar pameran yang berlangsung 14-31 Mei itu, Romain bekerja tanpa rencana. Apa yang ingin dipotret, atau ke mana hendak memotret, tak ditentukan sebelumnya.
"Metode saya sepenuhnya mengandalkan perasaan," kata Romain Osi. Tak heran, jika gambar-gambarnya yang tak sempurna tajam atau agak buram itu justru mengalirkan kejujuran.
ANWAR SISWADI