Matanya terpejam. Ia terlihat penuh percaya diri pada kemampuannya. Menarik napas sejenak, aksi jari-jari John Vincent Hardijanto pun dimulai. Sekitar 200 pengunjung Goethe Haus, Jakarta, pada Rabu malam pekan lalu diam, seperti terkena sihir pemuda 17 tahun itu. Sihir yang dirapal melalui enam senar nilon di gitarnya.
Sonata K1 L366 karya komposer Italia, Giuseppe Domenico Scarlatti, dimainkannya dengan sangat bersih. Jari-jarinya lincah bergerak dari fret rendah ke tinggi. Tekanan permainan pada lagu yang kaya akor itu begitu terasa, bahkan dalam volume pelan sekalipun. Terkadang kepalanya ikut bergerak, masih dengan mata terpejam, seolah menikmati permainannya sendiri.
Lagu kedua, Variatons Sobre Un Thema Sor Op 5, juga dimainkan John dengan sangat baik. Ia memborbardir telinga penonton dengan rangkaian harmoni dengan tremolo (tiga jari kanan memetik dengan sangat cepat). Tiba-tiba saja tangan kanannya diam. Jari-jari kirinya bergerak sendiri dengan cepat dan menghasilkan suara dengan sangat jelas. Seolah tanpa tangan kanan pun, gitar itu masih bisa dimainkannya. Penonton sangat antusias menyambut penampilan luar biasa itu.
Penampilan John Vincent dalam Konser Gitaris Muda Berbakat IV cukup ditunggu. Jawara gitar klasik Indonesia tahun 1983 sekaligus satu dari 15 gitaris terbaik dunia tahun 1992, Benny M. Tanto, mengakui kemampuannya. “Permainannya hebat,” kata Benny.
Selain John, masih ada 12 gitaris klasik lain yang tampil malam itu. Mereka tergabung dalam Forum Gitaris Klasik Indonesia. Penampilan Willy April Prayoga, 27 tahun, juga tak kalah menawan. Lagu Tapanuli Madekdek Megambiri dimainkannya dengan sangat lembut. Teknik slur (menggeser jari kiri) yang digunakannya begitu halus. Yoga mampu menggabungkan rasguedo (rhytm dengan lebih empat jari) dengan tremolo. Tempo permainannya pun sangat terjaga.
Pada lagu berikutnya, La Feria, citra flamenco begitu kuat dimainkan Yoga. Ia seperti meledak. Jari-jari kanannya mengalirkan teknik triplet (tiga jari memainkan rhytm) dengan sangat cepat, dikombinasikan dengan teknik golpe (mengetuk tubuh gitar). Ia juga menunjukkan rumba, irama memukul senar gitar dengan telapak tangan, memberi efek bass drum pada permainannya. Penonton tampak begitu menikmatinya.
Ada juga Christian Febrianto Alexander, 19 tahun, yang memainkan lagu ciptaannya sendiri. Pesan. Lagu ini begitu kaya harmoni, baik tunggal maupun lebih dari satu senar. Beberapa kali Christian merendahkan senar empat dan senar satu. Setemannya begitu cepat dan sampai pada nada yang dituju. Lagu ini terkesan ngasal, tapi sebenarnya sangat menarik mendengar nada-nada harmoni yang dihasilkan Christian.
Berikutnya, Christian ber-medley dengan membawakan Sinaran, Magnificent, dan Mission Impossible yang diaransemen Jubing Kristianto. Meski kurang bersih, permainannya cukup menghibur. Gaya klasik pop satu-satunya dari permainan malam itu.
Dari semua yang tampil, sejumlah gitaris muda terlihat belum menguasai panggung. Eka Jaya Tumewu, 17 tahun, misalnya, terlihat grogi, ragu, dan kadang terburu-buru. Begitu juga dengan Ihsan Hakim (23) dan Nauval Hadi (23). Permainan mereka seperti belum tertuju untuk penonton. Mungkin karena mereka ditempatkan di awal pertunjukan. Kondisi ini diperparah dengan ketidakmampuan panitia mengatur arus penonton yang masuk ke dalam ruang konser.
Toh, secara umum hampir semua gitaris muda tampil memukau. Permainan Ereza Gandhi (24) yang agak njlimet dengan Etude No 12, Marxixe, dan Ultzer Watlz, serta Stefanus (24) yang memainkan Concerto No 1 dan Choros No 1 juga layak disimak. Panggung malam itu memang milik gitaris klasik muda berbakat.
Gitaris klasik yang tak lagi remaja, Heru D. Priyono, memainkan Mallorca dan Podemico dengan menawan. Anak didik sesepuh gitaris klasik Carl Tanyong ini menunjukkan pengalamannya. Ia mampu menjaga hasrat penonton meski lagu yang dibawakannya tak semenggelegar Willy April Prayoga yang tampil sebelum dia.
Penampilan The New Trio Classical Guitar 3 Generations yang dipimpin Benny Tanto – beranggotakan Kurniawan (murid Benny) dan Bernadette Yodia – juga sangat menarik. Mereka membawakan Chanson Boheme dengan Yodia sebagai rhytm yang mengatur tempo dan Benny memainkan melodi. Ketiganya saling mengisi dan menyajikan permainan indah.
Terakhir, penampilan bersama 13 gitaris memainkan Concierto in D Mayor dengan Benny Tanto sebagai lead melody menjadi penutup yang berkesan. Gitar klasik pun dapat menjadi orkestra yang megah.
PRAMONO