TEMPO Interaktif,Cannes - Ada beberapa hal menarik dalam Festival Film Cannes ke-63 yang dibuka pada Rabu malam pekan lalu. Salah satunya peraturan dilarang berdasi panjang. Menurut protokol Cannes, dalam acara pembukaan para pria wajib mengenakan tuksedo hitam dan dasi kupu-kupu. Peraturan itu berlaku untuk semua yang hadir, dari pewarta foto yang terakreditasi hingga menteri kebudayaan.
Memang pengecualian diberikan kepada para produser film papan atas. Mereka boleh mengenakan tuksedo berwarna hitam. Tapi tetap wajib berdasi kupu-kupu bukan dasi panjang. Adapun kaum hawa, yang berjalan di atas karpet merah, bebas mengenakan gaun model apa saja. Misalnya, aktris Cate , pemeran Lady Marion of Loxley dalam Robin Hood, tampil cukup mempesona dengan gaun pink berkilauan – meski busana itu makin menambah kesan pucat kulitnya.
Selain aturan dilarang berdasi panjang, hal menarik lainnya adalah film pembuka festival bergengsi tersebut: Robin Hood. Yang menarik, Robin Hood kali ini agak berbeda, karena merupakan prekuel dari kisah-kisah Robin Hood yang sudah diangkat dalam film sebelumnya.
Lupakan pria manis dan langsing, bercelana ketat warna hijau, bertopi dengan bulu burung yang mengendap-endap di belantara hutan Nottingham. Robin Hoodkali ini berlumuran lumpur, brewokan, dan lebih kekar. “Semua yang Anda tahu tentang Robin Hood merupakan kesalahpahaman yang sangat dipahami sebelumnya,“ kata aktor Russell Crowe, pemeran Robin Hood, dalam jumpa pers pemutaran film .
Crowe menambahkan, film arahan sutradara Ridley Scott itu mencoba mengungkap fakta-fakta sejarah yang tak banyak diketahui orang. “Film ini dibuat untuk menggelitik rasa penasaran orang untuk mencari tahu fakta sejarahnya,“ ujar Crowe.
Film menarik lainnya adalah Draquila - Italy Trembles karya Sabina Guzzanti. Film dokumenter yang menyulut kontroversi ini mengupas habis-habisan korupsi yang dipraktikkan pemerintahan Silvio Berlusconi. Salle Benuel, tempat film Italia ini diputar perdana, penuh sesak.
Draquila menyoroti L'Aquila pascagempa April 2009. Berlusconi digambarkan tak melakukan pembangunan kembali bangunan rumah yang hancur akibat gempa. Hingga setahun setelah gempa, kota itu dibiarkan kosong, kecuali satu orang warga saja.
Film ini sangat berapi-api mengupas keborokan pemerintahan Berlusconi. Sampai-sampai, Menteri Budaya Italia Sandro Bondi membatalkan kehadirannya di Cannes sebagai aksi protes menentang pemutaran Draquila.
Begitulah. Hal menarik lainnya dalam festival yang digelar sepanjang 12-23 Mei mendatang ini: dominasi film Asia. Ada 5 film Asia dari 19 film yang berkompetisi di festival kali ini. Dua film berasal dari Korea, yakni The Housemaid karya Im Sangsoo dan Poetry karya Lee Chang-Dong.
Sutradara terkenal Jepang Takeshi Kitano juga ikut bersaing dengan filmnya, Outrage. Dari Cina ada Chongqing Blues karya sutradara Wang Xiaoshuai. Sutradara independen Thailand, Apichatpong Weerasethakul juga ikut bersaing dengan filmnya: Lun Boonmee Raluek Chat.
Salah satu film Asia yang mendapat sambutan adalah The Housemaid arahan Im Songsoo. Film yang mengklaim sebagai thriller erotik ini merupakan karya re-make dari film berjudul sama karya sutradara Kim Ki-young pada 1960.
The Housemaid berkisah tentang Lee Eun-yi (diperankan dengan cemerlang oleh Jeon Do-Youn), yang bekerja sebagai pelayan untuk keluarga kaya. Eun-yi bertugas melayani nyonya rumah yang sedang hamil, Hae-ra, dan putrinya. Majikan Lee Eun-yi, Hoon, menjadi kekasihnya. Kehidupan keluarga itu mulai runtuh. Apalagi ketika diketahui Eun-yi mengandung anak Hoon.
Keluarga kaya itu mengetahui kehamilan Eun-yi. Ibu mertua Hoon, Mi-hee, memaksa Eun-yi untuk mengguurkan kandungannya. Aborsi itu mengguncang Eun-yi. Ia pun kemudian membalas dendam.
Sutradara Im Sangsoo harus merombak skenario awal untuk disesuaikan dengan zaman sekarang. Musik, dialog, dramaturgi, dan pemilihan kostumnya pun sangat diperhatikan dengan ketat oleh Im.
Film ini dijagokan oleh banyak kalangan, termasuk para kritikus. Bahkan, The Housemaid versi Im Sangsoo disebut-sebut sebagai film terbaik Korea Selatan saat ini.
Kritikus film dari Jerman Jürgen Dick mengatakan, ia sangat menyukai film ini. Sineas muda dari Jepang, Shinji Aoyama juga menjagokan film ini akan meraih penghargaan sutradara terbaik. “Tapi ya, lihat saja nanti,“ katanya.
Film Asia lain yang cukup menarik adalah Chongqing Blues karya sutradara Wang Xiaoshuai. Film ini mengisahkan seorang kapten kapal kontainer Lin Quanhai, yang kembali setelah melaut selama enam bulan. Chongqing Blues ditampilkan dengan warna dominan biru keabu-abuan pucat dan sekaligus kelam, menggambarkan suasana kota industri dan metropolitan Chongqing di wilayah tengah Cina.
Lin Quanhai mendapat kabar, putranya Lin Bo, 25 tahun, ditembak mati polisi. Dalam mencari tahu penyebab kematian Lin Bo, Quanhai kian menyadari bahwa dirinya sama sekali tak mengenal anaknya sendiri. Lin Bo adalah anak satu-satunya dari mantan istri pertamanya. Quanhai sendiri diceritakan menikah lagi dan memiliki anak berusia 7 tahun. Quanhai kemudian menyadari, ketidakhadiran sosok ayah sangat berpengaruh pada kehidupan kejiwaan Lin Bo.
Seperti film-film Wang sebelumnya, Beijing Bicycle dan Shanghai Dreams, film ini juga menampilkan perasaannya dengan berlebihan. Tak banyak penonton film karyanya yang tahu, Wang Xiaoshuai juga tak mengenal ayah biologisnya. Wang pembenci sekaligus sangat merindukan sosok ayah.
Luky Setyarini (Cannes)