TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Mulut Jenderal Polisi itu meringis. Darah mengucur dari bibir bawahnya karena tertembus mata kail. Umpan palsu dari plastik berbentuk ikan makin membebani bibir bawah sang jenderal.
Tidak jelas siapa sosok jenderal polisi pada lukisan berjudul The Big Fish karya I Made Adinata Mahendra, 30 tahun, dalam pameran bertajuk Menjawab Tanda Tanya di Bentara Budaya Yogyakarta, 14-20 Mei 2010. Pengunjung pameran menganggap “Si Ikan Besar” itu tak lain adalah Susno Duaji, jenderal polisi bintang tiga yang sedang jadi sorotan publik belakangan ini.
“Sah-sah saja kalau ada yang menyebut itu Susno Duaji. Orang bebas berpendapat. Yang jelas, sosok jenderal itu saya maksudkan sebagai repesentasi situasi politik Indonesia saat ini. Kalaupun visualnya seorang jenderal polisi, itu karena polisi adalah sesuatu yang sedang sensitif saat ini,” jelas I Made Adinata Mahendra, alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 2007.
Pada pameran ini, Benot –panggilan sehari-hari I Made Adinata Mahendra-- mengusung dua lukisan yang sama-sama menghadirkan sosok jenderal. Meski begitu, fokus karyanya sebenarnya ada pada mata kail dan umpan palsunya, sebuah simbolisasi strategi politik yang menurutnya penuh kepalsuan.
Jika pada The Big Fish sang jenderal menjadi korban mata kail dan umpan palsunya, situasi berbeda terjadi pada karya lainnya yang berjudul Smiling General. Jenderal yang satu ini hanya tersenyum meski umpan-umpan berseliweran di depan hidungnya. Ia tidak menjadi korban strategi politik yang penuh kepalsuan.
Pameran Menjawab Tanda Tanya diikuti oleh enam perupa muda alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang tergabung dalam Kelompok Nostalgia. Selain Benot, kelima peserta lainnya adalah I Made Widya Diputra alias Lampung, Kadek Agus Mediana Adiputra alias Cupruk, I Gusti Ngurah Arya Udianata alias Rahman, Pande Nyoman Alit Wijaya Suta alias DJ dan Afdhal.
Keenam perupa muda ini mengusung tema dan medium yang berbeda dalam pameran ini. Untuk menyatukan tema dan medium yang beragam ini, mereka sengaja membalut ruang pamer dengan warna hitam, mulai dari lantai, dinding hingga langit-langit.
I Gusti Ngurah Arya Udianata, misalnya, mengusung karya tiga dimensi berupa replika tabung gas tiga kiloan, lengkap dengan kompornya. Tabung gas dan kompor tersusun dari anyaman aluminium. Melalui karyanya yang berjudul “Instant Project” ini, Rahman menilai penggantian minyak tanah dengan gas ini sebagai kebijakan yang tergesa-gesa karena ternyata rakyat belum siap.
Sementara Kadek Agus Mediana Adiputra mengusung karya instalasi berjudul “Very Very Important Person” berupa seting kamar kecil super mewah. Kadek sengaja memasang kloset duduk yang dilapisi karpet berbulu tebal. Kloset ini juga didesain seperti kursi goyang, demi kenyamanan pemakainya, lengkap dengan headset yang memutar lagu-lagu lembut.
“Karya ini akan lebih berhasil jika sifatnya interaktif. Penonton dapat mencoba duduk dan merasakan sensasi bulu lembut, goyangan yang nyaman, namun tetap berfungsi sesuai dengan toilet duduk pada umumnya. Benar-benar ada air dan fungsi menyiram secara mekanis, sama seperti fungsi toilet duduk lainnya,” tulis kurator Bambang Toko Witjaksono dalam katalog pameran.
Heru CN