TEMPO Interaktif, Bantul - Mengenakan pakaian adat Jawa, lengkap dengan keris terselip di pinggang, lelaki itu menaiki motor trail dalam posisi jumping. Meski terlihat ribet, ia terlihat sangat menikmatinya. nilah gambaran manusia Indonesia yang kemudian dituangkan dalam lukisan bergaya realis berjudul Jumping Class oleh perupa Joko Triyoso, 40 tahun, pada pameran bertajuk “Pahit Manis di Rumah Budaya Tembi, Bantul, 6-20 Mei 2010. Selain Joko, pameran ini juga diikuti dua mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta lainnya, yakni I Putu Risnaya, 19 tahun, dan Aji Tejo Wahyu, 23 tahun.
“Itu fenomena kebudayaan yang terjadi saat ini. Kita, masyarakat Indonesia ini, sebenarnya masih lekat dengan tradisi, namun dipaksa mengikuti arus global yang tidak bisa ditolak dan disalahkan,” jelas Joko, alumnus Fakultas Geografi UGM 1998 yang kemudian masuk ke Institut Seni Indonesia Yogyakarta angkatan 2009 ini.
Menurut Joko, masyarakat Indonesia sebenarnya banyak yang belum siap menghadapi teknologi yang menjadi bagian dari arus global. Itu sebabnya, muncul istilah gaptek alias gagap teknologi ketika banyak masyarakat Indonesia yang harus berhadapan dengan komputer atau telepon genggam. Meski gaptek, tetap saja memaksakan diri. “Itu sebabnya kita ini jadi konsumtif,” tegasnya.
Dari ketiga perupa yang sedang berpameran di Rumah Budaya Tembi ini, hanya Joko yang karya-karyanya membidik fenomena sosial masyarakat Indonesia. Dua perupa lainnya, I Putu Risnaya alias Apem dan Aji Tejo Wahyu, lebih banyak mengungkap pergulatan batinnya.
Apem, misalnya, lebih banyak menampilkan sosok perupa ternama seperti van Gogh dan Da Vinci. Kemunculan sosok perupa tenar itu menjadi bagian dari mimpi Apem untuk memasuki dunia mereka.
Sementara Aji Tejo Wahyu lebih banyak menghadirkan figur-figur yang terpotong oleh garis-garis tegas dalam kanvasnya. Menurut kurator Amir Hamzah, merupakan rekam jejak Aji yang pernah mengalami dua kali kegagalan dalam pendidikan sebelum akhirnya menjadi mahasiswa senirupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Keseriusan Joko Triyoso menggarap tema-tema sosial makin terlihat pada karyanya yang berjudul “Bangunan Negeri”. Joko memindahkan papan nama SD Ngeri 1 Suka Kaya yang sudah berkarat. Papan nama itu tergantung di tembok yang sudah retak-retak.
Anehnya, dari retakan-retakan itu terlihat bendelan-bendelan uang pecahan seratus ribu rupiah. Susunan bendelan uang itu terlihat seperti susunan batu bata yang menjadi tembok penyangga bangunan sekolah. “Negeri kita itu sebenarnya kaya-raya, namun tetap saja compang-camping akibat perilaku koruptif masyarakatnya,” jelas Joko.
Menurut kurator Amir Hamzah, pameran bertajuk “Pahit Manis” ini merupakan arena bagi ketiga mahsiswa senirupa ISI Yogyakarta itu untuk menguji eksistensinya dalam berkesenian, di tengah kesibukan mereka dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah yang padat.
Heru CN