Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Melihat Alam Nyata Penuh Kepalsuan  

image-gnews
Pameran foto
Pameran foto "Artificially Natural" karya Agung Nugroho Widhi. (TEMPO/HERU CN)
Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta - Sejak masuknya fotografi ke ranah seni rupa, fungsi fotografi sebagai representasi dari realitas banyak bergeser. Alih-alih menggambarkan kenyataan, fotografi malah menjadi cara lain untuk “melihat”. Belakangan, dengan semakin populernya penggunaan teknologi kamera saku, apalagi masuk periode digital, fotografi acap menunjukkan bagaimana setiap mata punya cara pandang yang berbeda atas sebagian besar peristiwa yang berlangsung di dunia.

 

Foto keseharian menunjukkan bagaimana fenomena diterima sebagai sesuatu yang bersifat “terberi” atau “sudah begitu dari sananya”. Karena itu, peran penting seorang fotografer masa kini bukanlah memperlihatkan kenyataan kepada orang banyak, melainkan menunjukkan cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu yang “terberi” itu.

 

Pengamatan menarik atas kenyataan itu ditampilkan oleh Agung Nugroho Widhi, seniman muda dari Yogyakarta, dalam pameran tunggalnya, Artificially Natural, yang digelar di Kedai Kebun, Yogyakarta, pada 8–31 Mei ini.

 

Gagasan tentang “kealamian yang artifisial” ini diperoleh Agung ketika ia mengamati jalan dan ruang-ruang sehari-hari yang menunjukkan fenomena unik dalam masyarakat berkaitan dengan konsep “yang alami” dan “yang artifisial”. Dengan kamera lomo-nya, Agung membidik bagaimana “obyek” alamiah yang artifisial, dibuat oleh manusia dengan bahan-bahan non-alami tersebut, menjadi bagian yang seolah wajar dalam lanskap lingkungan.

 

Dalam proyek yang ia kerjakan selama dua tahun ini, Gembong—panggilan akrabnya—berkeliling dengan kamera lomo-nya memasuki wilayah-wilayah umum, mencari tanpa terburu. Hasilnya, ia menemukan banyak materi visual yang menarik. Jika kita tidak memperhatikan dengan cukup cermat detail foto karya Gembong, sepintas kita melihat, semua yang disuguhkannya adalah kenyataan alam. Pada beberapa foto, terutama yang berujud taman buatan, apa yang artifisial itu memang sangat dekat dengan kenyataannya.

 

Ke-13 foto dalam pameran tunggal pertama seniman lulusan Institut Seni Indonesia ini diberi judul Tanpa Judul. Ketimbang berdiri sebagai sebuah foto tunggal, hampir semua karya dalam pameran ini lebih “bunyi” ketika ia bersanding dengan karya lainnya. Hampir seperti esai foto, tapi dengan konsep yang lebih kuat ketimbang sekadar sebagai foto naratif.

 

Dengan menggunakan kamera lomo, yang punya keterbatasan secara teknik, Gembong justru makin menonjolkan kekuatan konsepnya. Beberapa foto akan terasa terlalu gelap dan terlalu banyak bayangan. Tapi, dengan konsep yang diusungnya, penghadapan antara yang alami dan yang artifisial, penggunaan teknik yang tak terlalu sempurna ini justru menjadi bagian dari strategi untuk mengajukan pertanyaan atas peran fotografi itu sendiri.

 

Kita acap tak awas, lingkungan keseharian yang tampak alami banyak dikonstruksi oleh imajinasi kita sendiri tentang apa yang alami itu. Gembong menampilkan obyek-obyek yang sesungguhnya dengan sangat mudah kita tunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pohon-pohon yang dibuat dari semen beton (tapi dibentuk dengan pendekatan yang realistis, diwarnai sesuai dengan batang pohon yang cokelat dan bertekstur tua atau terbelah). Karena terbiasa melihatnya sebagai sesuatu yang biasa, kita cenderung tak bertanya lagi tentang realitas visual alami yang kita lihat.

 

Karya-karya Gembong, dengan cara tertentu, merupakan bagian dari upaya mempertanyakan realitas itu. Apa yang selama ini kita anggap alami, kemudian hadir dan direproduksi dalam ruang-ruang kota dalam bentuk peniruan, menjadi sesuatu yang artifisial. Pertanyaan yang muncul bisa sederhana, mengapa mereka membentuk gambar atau imaji visual yang cenderung menggambarkan alam secara realis jika materialnya adalah sesuatu yang artifisial? Apa nilai penting dari penggambaran alam di ruang publik kota? Apakah obsesi terhadap yang alami ini memang menjadi sesuatu yang kemudian nyaris “terberi” untuk generasi masa kini?

 

Tentu saja, sejarah atas obsesi ini bisa dilacak dari model-model lukisan realis bergambar pemandangan, dari era Mooi Indie hingga pasar-pasar Sukowati di Bali. Lukisan pemandangan semacam ini memang menjadi bentuk visual yang paling mudah “dipahami” kebanyakan orang, selain menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menyenangi imaji visual yang datang dari kenyataan sehari-hari. Tapi Gembong menyodorkan pertanyaan mendasar berkaitan dengan fenomena ini: lalu apakah realitas itu jika kita mempunyai sesuatu yang nyata, dan memproduksi tiruannya secara artifisial, dalam sebuah lanskap yang sama?

 

Jika banyak orang bertanya, saya kira pameran Gembong menjadi punya nilainya sendiri yang berharga. Kesederhanaan citra, pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu, dan kepercayaan pada fokus yang dipilih membuat pameran Gembong ini menyentil pertanyaan konseptual tentang fotografi pada diri saya secara personal. Dengan caranya sendiri bercerita, Gembong memampatkan waktu. Gembong lebih banyak bermain dengan ruang, dan sedikit bercakap dengan waktu. Lain kali, mungkin waktulah yang perlu lebih banyak diketuk pintunya.

 

 

ALIA SWASTIKA

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Mengenal Voice Against Reason, Pameran Seni Rupa Kontemporer dari 24 Perupa

32 hari lalu

Pameran Voice Against Reason. Foto: Museum Macam.
Mengenal Voice Against Reason, Pameran Seni Rupa Kontemporer dari 24 Perupa

Pameran seni rupa ini diikuti perupa dari Australia, Bangladesh, India, Jepang, Singapura, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.


Grey Art Gallery Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Islami Karya 75 Seniman

38 hari lalu

Pameran seni rupa Islami berjudul Bulan Terbit  sejak 15 Maret hingga 14 April 2024 di Grey Art Gallery Bandung. (Dok.Grey)
Grey Art Gallery Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Islami Karya 75 Seniman

Pameran seni rupa Islami ini menampilkan 85 karya 75 seniman yang membawa kesadaran bagaimana memaknai nilai-nilai Islam.


Belasan Seniman Gen Z dari 3 Kampus di Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Equivocal

16 Oktober 2023

Karya instalasi buatan Michelle Jovita berjudul Massa Manusa. (Dok.pameran).
Belasan Seniman Gen Z dari 3 Kampus di Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Equivocal

Gen Z menggelar pameran seni rupa yang berisi karya digital art, seni instalasi, gambar atau drawing, lukisan, seni grafis, patung, juga performance


Selasar Sunaryo Gelar Pameran Lengan Terkembang Karya Belasan Seniman Difabel

23 September 2023

Pameran Lengan Terkembang: Ruas Lintas - Abilitas di Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space Bandung melibatkan belasan peserta seniman difabel.  Foto: TEMPO| ANWAR SISWADI.
Selasar Sunaryo Gelar Pameran Lengan Terkembang Karya Belasan Seniman Difabel

Program itu dilatari oleh kenyataan bahwa pameran seni rupa di Indonesia selama ini belum menjadi ruang khalayak yang inklusif.


Pameran Seni Rupa Artsiafrica#2 di Bandung Tampilkan 170 Gambar

19 September 2023

Pameran Artsiafrica#2 di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung berlangsung 16 - 30 September 2023. Foto: Dok.Galeri.
Pameran Seni Rupa Artsiafrica#2 di Bandung Tampilkan 170 Gambar

Pameran seni rupa bertajuk Artsiafrica menampilkan sosok warga Asia dan Afrika lewat muka hingga balutan budayanya di negara masing-masing.


Kelompok Ambari dari Alumni ITB Gelar Pameran Prismeu di Galeri Orbital Dago Bandung

4 September 2023

Pameran kelompok Ambari di Galeri Orbital Dago Bandung hingga 17 September 2023. (TEMPO/ANWAR SISWADI)
Kelompok Ambari dari Alumni ITB Gelar Pameran Prismeu di Galeri Orbital Dago Bandung

Karya yang ditampilkan 9 anggota dari kelompok Ambari dalam pameran Prismeu adalah perwujudan dari benda atau alam sekitar yang nyata di keseharian.


Fenomena Alam dan Sosial di Pameran Tunggal Iwan Suastika

20 Agustus 2023

Lukisan karya Iwan Suastika berjudul Beauty in a Chaotic Rhythm. Dok. D Gallerie
Fenomena Alam dan Sosial di Pameran Tunggal Iwan Suastika

Pameran tunggal Iwan Suastika diharapkan dapat membangun diskusi bersama tentang nilai-nilai kemanusiaan dengan perubahan alam.


Lato-lato dan Rumus Fisika di Pameran Seni Rupa Ruang Dini Bandung

19 Juni 2023

Karya Dionisius Caraka berjudul Tumbukan Lato-lato di Galeri Ruang Dini Bandung. TEMPO/ANWAR SISWADI
Lato-lato dan Rumus Fisika di Pameran Seni Rupa Ruang Dini Bandung

Pameran Seni Rupa yang berlangsung di Galeri Ruang Dini, Bandung itu banyak menggunakan media papan kayu.


Galeri NuArt di Bandung Gelar Pameran Mekanisme Pertahanan Manusia

21 Mei 2023

Karya Isa Perkasa berjudul Masker 2024. (Dok.Pribadi)
Galeri NuArt di Bandung Gelar Pameran Mekanisme Pertahanan Manusia

Ada cara yang dinyatakan oleh para seniman dalam pameran seni rupa ini, seperti mengenali ulang apa yang terlihat sebagai realitas keseharian.


Pameran Bianglala Seribu Imajinasi, Wadah Seniman Penyandang Autisme Unjuk Diri

7 April 2023

(kiri ke kanan) Hilmar Faris, Claire Siregar, Sylvia Siregar pada acara pembukaan Bianglala Seribu Imajinasi, di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta Pusat, pada Rabu, 5 April 2023. Foto: TEMPO | Gabriella Amanda.
Pameran Bianglala Seribu Imajinasi, Wadah Seniman Penyandang Autisme Unjuk Diri

Imajinasi unik dan berbeda yang dimiliki penyandang autisme ini terlihat dari karya mereka yang memiliki makna sudut pandang sendiri.