Satu malam pada Maret lalu di Geria Telaga Banjarangkan, Klungkung, Bali, mereka “mati”. Ya, mati raga, yakni meninggalkan keduniaan, mencapai Dwijati. Lahir untuk kedua kalinya, dipersalin oleh Guru Nabe, Ida Pedanda Gede Telaga.
Begitulah Upacara Pediksaan. Upacara pengukuhan pendeta Hindu Bali atau dikenal dengan sebutan pedanda (pedande). Setelah mediksa, keduanya diberi tempat yang mulia dalam masyarakat, yakni sebagai Orang Sulinggih (su: mulia, linggih: kedudukan).
Sulinggih adalah orang suci. Dibebaskan dari tugas dan kewajiban sosialnya dalam masyarakat. Tidak melakukan ayahan banjar. Mereka tidak lagi melakukan kegiatan lainnya yang bersifat keduniaan. Sulinggih merupakan pembawa tateken (tongkat) simbol Dhandastra--atribut Dewa Brahma. Menjadi penegak Dharma.
Sebagai peragaan Sang Hyang Dharma, mereka mendapatkan nama Ida Pedanda Gede Oka Telaga dan Ida Pedanda Istri Oka. Sejatinya, Sulinggih tidak meninggalkan kemasyarakatan. Sebaliknya, mereka memangku berbagai persoalan dalam masyarakat.
Mereka harus memberi terang bagi pelbagai kehidupan masyarakat, selain memimpin pelaksanaan Loka Pala Sraya, yakni menyelesaikan berbagai yajña, termasuk dalam memberikan Air Suci (Tirtha). Dalam kitab suci Veda (Atharvaveda XI.I.I.) disebutkan: “Satyam Brhad Rtam Ugram Diksa Tapo Brahman Yajña Prithiwim Darayanti” (Sesungguhnya Satya Rta Diksa Tapa Brahman dan Yajña, yang menyangga dunia ini).
FOTO & TEKS: ARIF FADILAH