Tak lama kemudian gemericik air sangat jelas terdengar. Tubuh-tubuh itu kembali mendendang. Kali ini mereka berpasang-pasangan. Membuat gerakan merunduk, lalu pecah terlempar hingga lantai, serta berjalan mundur memakai kedua kaki dan tangannya ke balik layar, mirip seekor binatang.
Begitulah Kuik Swee Boon menciptakan karyanya. Sebuah tari kontemporer yang memadupadankan kedahsyatan teknologi multimedia. Garapan yang bertajuk O Sounds itu dimainkan oleh tujuh penari dari Singapura di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, pada Jumat dan Sabtu malam pekan lalu.
Berdurasi 90 menit, tarian itu tampak begitu energetik. Ucapan-ucapan berlafal Cina membentuk tembang yang tiada henti terdengar. Sesekali tembang, yang ternyata lagu rakyat itu, diubah menjadi musik tekno. Atau dialek-dialek Hokkian totok dari sebuah percakapan, dijumput dan disusun menjadi sebuah fragmen melodi elektro-akustik. Tak jarang juga terdengar riuhnya suasana kota yang penuh sesak.
Kuik mencoba menggabungkan gerakan tari kontemporer, permainan layar, dan garapan musik tekno yang berakar dari lagu rakyat maupun dialek Cina yang hampir hilang di negerinya. "Saya terinspirasi oleh ayah saya, meski hubungan saya dengannya tak begitu dekat," kata Kuik seusai pementasan.
Proses kreatif Kuik dimulai dengan melakukan riset dan mengumpulkan dialek-dialek yang hampir punah di Singapura. Butuh waktu setengah tahun untuk menemukan tradisi dalam bentuk memoar, cerita, maupun nyanyian rakyat itu. Bersama Darren Ng, seniman bunyi yang bersama-sama menerjemahkan ide Kuik. Darren adalah komposer yang banyak bekerja dengan fragmen bebunyian elektro-akustik.
Tak dimungkiri, Singapura adalah negeri kecil yang banyak dihuni oleh berbagai tradisi. Ada tiga kultur besar yang hidup di Negeri Singa itu: Cina, Melayu, dan India. Cina adalah yang terbesar. Pesatnya perubahan masyarakat Singapura menuju modernitas menjadikan tradisi kuno mulai luntur. Inilah yang menggelitik Kuik bahwa seberapa banyak masyarakat boleh kehilangan tradisi.
Selain Darren, Kuik bekerja sama dengan seniman video asal Brasil, Gabriela Tropia Gomes. Ia mempersiapkan semua video yang ditampilkan pada saat pertunjukan. Salah satu sekuel video Gomes menyoroti rumah tua yang lusuh dan sunyi. Di dalam rumah itu, sejumlah penari mulai memperlihatkan beberapa gerakan. Kehadiran tayangan video itu memberi rihat sejenak bagi para penari di panggung.
Animasi multimedia garapan Gomes juga ikut serta menjadi bagian yang tak terpisahkan dari repertoar. Layar panjang dibentangkan di tepi panggung, kemudian dipantulkan gambar tembok lusuh berwarna kelabu. Dari atas muncul tubuh penari-penari yang terjatuh melayang dalam gerak lambat teratur. Lalu tubuh itu hilang menembus lantai. Dan satu penari sesungguhnya berada di tepi layar. Gambar itu betul-betul hidup.
Bukan hanya unsur bunyi maupun layar yang mencerminkan gugatan atas hampir punahnya tradisi. Kuik mencoba meramu gerakan-gerakan tradisi Cina, seperti Taichi, dalam koreografinya. Gerakan memutar-mutar menggambarkan simbol yin dan yang. Sesekali para penari itu menjompak-jompak dengan sangat bebasnya. Kaki mereka melayang di udara, meski sekejap, dan hanya ditumpu oleh pinggul maupun kedua tangan. Diperlukan energi besar untuk melakukan atraksi tersebut.
Gerakan berpindah tempat yang melibatkan kedua tangan dan kaki dalam posisi badan terbungkuk acapkali muncul. Agaknya Kuik konsisten dalam menjelaskan kesan kekunoannya. Namun akar gerakan balet tak juga ia kerdilkan.
O Sounds pernah dipentaskan pertama kali di Singapura pada 2008. Kali ini, selain di Jakarta, karya itu akan dipentaskan kembali di Polandia, Dubai, Paris, dan di negeri Kuik sendiri pada Singapore Arts Festival sepanjang 2010 ini.
ISMI WAHID