Sri pada lukisan berjudul Obsesi si Sri karya Wibowo Adi Utama, 30 tahun, itu sejatinya adalah personifikasi dari senirupa Indonesia. “Karya ini merupakan ekspresi kegelisahan saya tentang dunia seni rupa Indonesia sekarang,” kata alumnus Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, tahun 2007 ini.
Obsesi si Sri adalah satu dari 41 karya pada pameran bertajuk Homage di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, sepanjang 8-23 Mei 2010. Pameran ini diikuti 24 perupa. Mereka adalah sebagian dari 56 perupa hasil seleksi kompetisi Tujuh Bintang Art Award, pada Agustus 2009 lalu.
Menurut Wibowo, banyak perupa Indonesia yang merasa dirinya sudah berada di ranah kontemporer, padahal kakinya masih berdiri di atas ranah modern. “Mempelajari modernisme saja belum selesai, tapi sudah memaksakan diri ke ranah kontemporer karena menghadapi tuntutan pasar global,” katanya.
Situasi seperti ini, tutur Wibowo, tak terjadi di dunia Barat, di mana ada periode yang menghasilkan isme atau aliran tertentu dan kemudian muncul periode berikutnya dengan isme yang baru pula. “Kita tidak punya sejarah seperti itu. Yang terjadi, kita tinggal copy paste,” ujarnya.
Maka, yang terjadi adalah adu panco antara kekuatan wacana dengan kepentingan pasar yang kadang tidak seimbang. Juga suasana chaos setelah booming lukisan gaya Cina dan menjamurnya street art yang, menurut Wibowo, tak jelas asal-usulnya. “Affandi sebagai maestro ekspresionis paling kuat di Indonesia, mungkin sedih dan kemudian mengacungkan jari tengahnya,” kata Wibowo.
Jika Wibowo mengupas dunia senirupa Indonesia secara serius, Nawir Mc Pitt, 22 tahun, justru menghadirkan karya yang ringan dan cenderung guyonan melalui lukisan hitam putih dengan medium charcoal berjudul Transit_Down. Mahasiswa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini “hadir” sebangku dengan Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta.
Adegan aslinya, seperti yang sering muncul dalam foto buku sejarah, adalah tiga tokoh besar Indonesia – Sjahrir, Soekarno, dan Hatta – yang sedang duduk bersama pada kursi rotan panjang. Posisi Sjahrir, yang berada di sebelah kanan Soekarno, kemudian digantikan dengan sosok Nawir Mc Pitt, dengan rambut rastanya yang sedang sibuk memainkan telepon genggamnya.
“Ini hanya main-main. Lucu-lucuan saja. Saya membayangkan bisa duduk sejajar dengan tokoh-tokoh besar Indonesia. Mungkin saya lahir pada tahun yang salah,” kata Ahmad Nawir, nama asli Nawir Mc Pitt, dengan enteng.
Sebagian besar materi pameran Homage ini berupa karya dua dimensi. Hanya beberapa perupa yang mengusung karya tiga dimensi. Salah satu karya tiga dimensi yang menarik adalah sebuah gitar listrik berbahan kayu jati karya Rudi Hendriyatno, 30 tahun.
Gitar listrik berbahan kayu jati ini cukup menarik. Selain digarap secara detil, Rudi sengaja mengubah kepala gitar dengan tiruan tangan manusia yang bisa bergerak meremas. Untuk menggerakkan jari-jari tangan di ujung gitar, dibuat tuas khusus dengan sejumlah roda gigi. Semuanya terbuat dari kayu jati. “Saya hanya ingi membuktikan bahwa material kayu sebenarnya tidak berbeda dengan material lain seperti logam,” Rudi menjelaskan..
Menurut kurator Netok Sawiji Rusnoto Susanto, pameran ini merupakan pembuktian proses kreatif pemenang Tujuh Bintang Art Award selama setahun ini. “Mereka kian menegaskan kembali ketajaman menentukan subject matter dan pendalaman kajian filosofis yang dijadikan dasar proses penciptaannya,” tulis Netok dalam katalog pameran.
HERU CN