Puluhan mahasiswa dari berbagai jurusan di kampus itu terlihat antre sejak pukul 15.00 untuk mendapatkan tiket seharga Rp 10 ribu untuk menyaksikan pemutaran film karya sutradara Arman Dewarti itu, yang dimulai setengah jam berikutnya.
Ini merupakan pemutaran perdana Aliguka dan kampus itu terpilih sebagai tempat pertama dari rangkaian pemutaran di berbagai perguruan tinggi dan sekolah di Provinsi Sulawesi Selatan. Pemutaran film sepanjang 70 menit itu dilakukan dua kali, pukul 15.30 dan pukul 20.00.
Seusai pemutaran kedua, semua kru dan pemain film berkumpul bersama mahasiswa dan membedah film tersebut, termasuk soal proses teknis pembuatannya. Alem Febri Sonni, produser film tersebut, mengakui bahwa dalam pembuatan film yang naskahnya ditulis Aan Mansyur itu masih banyak kekurangan karena film ini merupakan film panjang pertama yang diproduksi putra-putri Makassar, khususnya For Film Makassar. Para pembicara juga berbagi ilmu kepada penonton, khususnya mahasiswa dari Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Budaya eSA, yang ingin menulis naskah film dan teknik membuat film.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Awaluddin, yang juga terlibat dalam produksi film ini, menjelaskan bahwa dia dan teman-temannya sengaja memutar film Aliguka di kampus ini untuk memperlihatkan bahwa ternyata seperti inilah wajah pendidikan kita.
Awaluddin mengambil contoh tokoh Aliguka, yang diperankan oleh Iip Pannyiwi, yang merupakan mahasiswa semester akhir dan sedang mengajukan judul skripnya bertema korupsi, tapi ditolak oleh dosen pembimbingnya berkali-kali. Menurut sang dosen, judul itu terkait korupsi di DPR dan merupakan kasus yang dialami oleh orang tua Aliguka sendiri, sehingga Aliguka dikatakan gila jika ingin menulisnya.
"Ini menandakan bahwa kita sebagai mahasiswa yang kritis dan memikirkan negeri ini tidak bisa dierima oleh dosen kita sendiri, yang tidak menginginkan perubahan di negeri ini. Jika ada yang kita anggap benar, maka harus tetap kita pertahankan," kata Awaluddin.
Hasmita, mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Manajemen, menilai film itu merupakan kritik terhadap pejabat-pejabat yang korup dan juga bagi kalangan bawah. Adapun Wawan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, menilai film itu telah memperlihatkan gambaran mahasiswa idealis yang ingin membongkar bobroknya birokrat di negeri ini, tapi tidak mengetahui seperti apa dunia luar dan berakhir di rumah sakit jiwa setelah dia terjun ke dunia luar kampus dan merasakan kerasnya kehidupan nyata.
"Aliguka sebagai seorang aktivis yang memliki idealisme tinggi menginginkan negeri ini bebas dari korupsi, tapi ternyata hanya mampu memasukkan dirinya ke rumah sakit jiwa setelah tidak mampu menyelesaikan hal yang sangat kecil, seperti membeli beras," ucap Wawan.
Dalam proses produksi film ini produser mengaku mengalami cukup banyak tantangan dan masalah di lapangan, seperti lokasi pengambilan gambar yang kurang kondusif karena beberapa warga yang belum mengetahui jika mereka sedang membuat film dan banyak dari mereka yang ingin mengetahui secara dekat proses pembuatannya.
Irwan