Tak lama berselang pesta itu usai. Musik berhenti dan lampu gemerlap padam. Di bawah temaram wajah Ajeng dan Anggie pun tak lagi sumringah. Tapi sebenarnya kisah hidup mereka baru dimulai. Lewat sebuah nomor tari bertajuk S[h]elf, kedua penari muda itu memperkenalkan kehidupan mereka kepada para penonton di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, pada Sabtu dan Ahad malam lalu.
Dalam pentas tari itu, sebagai pembuka diputar video amatir berjudul Underwear karya Jecko Siompo. Video itu bercerita tentang kehidupan Ajeng, Anggie, dan beberapa sobat mereka--yang diperagakan dengan tarian. Kisahnya mengalir dari bangun tidur, mandi, hingga beraktivitas di luar. Video ini juga menyelipkan dokumentasi mereka saat berkunjung ke Hamburg, Jerman, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
Kehidupan Siti Ajeng Soelaeman dan Andara “Anggie” Firman Moeis--demikian nama lengkap mereka--seperti sebagian remaja kelas menengah atas urban: suka pesta dan mengikuti tren yang berkembang.
Namun, di balik itu semua, ada sesuatu yang hendak mereka bentuk. Misalnya, pencarian jati diri dan cinta. Itu terlihat dalam bagian tari ketika Anggie berhias di depan kaca. Dengan cekatan ia memakai gaun pesta yang digantung, lalu bersolek dengan pemoles bibir warna merah pekat. Setelah bersolek, ia menggambar lambang hati dan tanda tanya di permukaan kaca.
Ajeng dan Anggie juga senang shopping. Hobi ini tecermin dalam latar panggung yang didesain dengan banyak kerangka kotak tergantung seolah melayang. Kerangka itu penuh lembaran baju, celana, dan gaun yang digantung. Saat Anggie sibuk sendiri di depan kaca, Ajeng justru lebih atraktif dengan memilih baju, berkali-kali menjajal, lalu menanggalkannya.
Meski adegan mengalir seperti sebuah drama, koreografer Fitri Setyaningsih tetap mempertahankan olah tubuh yang menjadi ciri para penari. Itu terlihat ketika dua penari tersebut mencoba mengeksploitasi tubuh mereka dalam bagian kolaborasi.
Ajeng dan Anggie menjadi satu dalam balutan kaus longgar. Kaus biru cerah yang dipakai Ajeng ditarik melar masuk ke leher Anggie. Adapun kaus merah jambu yang dikenakan Anggie sudah melilit di lengan Ajeng. Gerakan yang seolah hendak membuka simpul tali yang kusut itu menjadi sebuah adegan tari yang kompak dan menarik.
Lalu tarian patah-patah atawa break dance sekonyong-konyong masuk. Meski terasa aneh, bagian ini justru menebar semangat. Ajeng dan Anggie yang sudah berbalut lengkap gaya 1980-an, dengan jaket dan sepatu kets, tampak mahir melakukan tarian yang hingga kini masih digemari itu.
Ya, seluruh jalan cerita pentas tari S[h]elf boleh dibilang cukup mudah dicerna penonton awam sekalipun. Apalagi ide yang dicurahkan Ajeng dan Anggie pun dekat dengan keseharian remaja kelas menengah atas pada umumnya. Mereka hendak menyampaikan apa yang dialami, diyakini, dan dirasakan.
Sayang, bagian penutupnya terasa agak janggal. Ajeng dan Anggie, yang mendadak muncul dari samping panggung, telah lengkap berkostum putih serupa kimono yang belum diikat. Keduanya berjalan perlahan dengan wajah yang muram dan latar suara yang suram. Langkahnya maju-mundur di antara gulungan tisu yang berguling di lantai panggung.
AGUSLIA HIDAYAH