TEMPO Interaktif, Di atas pentas, seorang perempuan tampil melakukan gerakan-gerakan yang menarik. Didukung tata cahaya yang diatur sedemikian rupa, gerakan-gerakan itu menghasilkan visual yang memukau. Ery Aryani--perempuan itu, yang juga sebagai sutradara pementasan--tampil membuka pertunjukan.
Ery tampak mengeksplorasi properti yang dibawanya, seperti empat alat pemarut kelapa berukuran kecil--dua buah di tangan kiri dan dua buah lainnya di tangan kanannya. Ia membuat pelbagai gerakan, dari melompat-lompat hingga menepuk-nepukkan keempat alat pemarut kelapa itu.
Setelah itu, Ery meninggalkan pentas. Adegan berikutnya, dua pria bermain-main di atas panggung. Mereka berjalan, melompat, dan berguling bersama-sama. Meski begitu, hampir tak ada suara yang ditimbulkan dari gerakan itu. Interaksi keduanya terlihat intim, meskipun tak ada dialog dalam adegan tersebut.
Namun interaksi keduanya ditutup oleh pertengkaran yang terjadi di antara mereka. Pertengkaran itu digambarkan melalui suara menggeram, seperti layaknya orang yang memendam amarah. Mereka juga saling kejar dan mencakar.
Pertengkaran itu dipisahkan oleh Ery, yang masuk kembali dan membawa papan pemarut kelapa berukuran raksasa. Paku yang memenuhi permukaan papan pemarut dengan panjang sekitar 2 meter itu terlihat sangat tajam. Hal itu terbukti ketika sayur-mayur yang dilemparkan oleh salah satu pemain menancap sempurna di papan tersebut. Pertunjukan ala debus diperagakan ketika salah seorang pemain beratraksi berguling di atas papan tersebut.
Begitulah pementasan drama bertajuk Mayur yang disuguhkan Teater Ruang pada Jumat malam lalu. Pementasan guna menyambut ulang tahun ke-16 teater tersebut pada Juni nanti digelar di panggung Kentut Roejito, Surakarta, Jawa Tengah.
Mayur, yang dipentaskan di panggung yang tak begitu luas itu, tergolong miskin dialog. Sepanjang pementasan sekitar satu jam, ketiga pemain itu tak pernah bercakap-cakap secara intens. Hanya sesekali mereka menyanyikan lagu keroncong tanpa iringan musik, serta mendendangkan suluk, seperti layaknya dalang wayang kulit.
Pementasan Mayur terinspirasi oleh perjalanan pada awal berdirinya Teater Ruang. Saat itu, teater yang bersanggar di Pereng Tanggul Danusuman, Surakarta, tersebut membutuhkan banyak biaya untuk operasional. "Kami berjualan sayur-mayur selama satu bulan," kata Ery.
Mereka membeli sayur-mayur dari para petani di Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, dan dijual lagi kepada para pedagang di Pasar Legi, Surakarta. Mereka malah rugi sebesar Rp 4 juta dalam perniagaan yang dilakukan tiga tahun lalu itu.
Meski merugi, toh usaha tersebut berhasil menginspirasi kelompok itu untuk membuat pertunjukan Mayur. Mereka mencoba menghadirkan sifat petani, pedagang, dan pembeli dalam pertunjukan tersebut.
Penggunaan properti papan pemarut kelapa boleh dikatakan hanya kebetulan belaka. "Peralatan itu sangat dekat dengan sayur," ujar Ery. Mereka mencoba memberi makna terhadap peralatan dapur yang terkadang dianggap sepele, bahwa untuk mendapatkan sebuah santan, kelapa perlu untuk dikoyak dan diperas.
Boleh dibilang, pementasan drama yang disuguhkan oleh Teater Ruang pada malam itu cukup menarik. Menurut Ery, untuk pementasan tersebut, mereka berlatih cukup singkat: hanya sekitar satu bulan. Selain para pemain dari kelompok teater itu, pementasan tersebut melibatkan warga kampung di sekitar sanggar. Para warga itu tergabung dalam Teater Warung, sebuah kelompok teater binaan Teater Ruang.
Pemimpin Teater Ruang, Joko Bibit Santoso, menyatakan, pementasan Mayur merupakan salah satu dari empat pementasan yang akan digelar untuk menyambut ulang tahun Teater Ruang yang ke-16. "Kami tengah memasuki masa puber ketiga," katanya.
Puber ketiga tersebut ditandai dengan nafsu yang berkobar untuk melakukan pementasan. Semula mereka berencana melakukan pementasan sekali dalam sebulan. "Namun yang terjadi, kami justru akan pentas empat kali dalam dua bulan ini," ujar Bibit.
Adapun puber kedua, Bibit menambahkan, telah mereka alami 12 tahun lalu. Puber kedua tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk menggelar pementasan dari kampung ke kampung. Pementasan tersebut digelar dengan harapan mampu memasyarakatkan teater kepada masyarakat di luar komunitas seni dan komunitas kampus.
Lalu puber pertama mereka alami sekitar 16 tahun lalu. "Puber pertama terjadi pada awal-awal kami melangkah, saat kami tengah berjuang membesarkan Teater Ruang," Bibit menjelaskan. | AHMAD RAFIQ
Kentut Roejito
Penamaan Kentut Roejito untuk panggung permanen yang dibangun di sanggar Teater Ruang mungkin cukup aneh. Namun nama tersebut merupakan sebuah penghormatan kepada dua tokoh seni yang banyak memberi pengaruh bagi Joko Bibit Santoso dalam mendalami teater.
Kentut merupakan nama panggilan dari Bambang Widoyo. Dia merupakan seniman dari Teater Gapit, sebuah teater tradisional dari Akademi Seni Karawitan Indonesia, yang saat ini berubah menjadi Institut Seni Indonesia Surakarta. Kentut adalah seorang sutradara dan penulis naskah yang cukup produktif. Falsafah Jawa yang acapkali menghiasi pementasan Teater Ruang tak lepas dari pengaruh seniman ini.
Adapun Roejito, atau dikenal dengan nama Mbah Jito, adalah seorang scenografer yang cukup terkenal. "Banyak sutradara yang berguru kepadanya untuk urusan artistik," kata Bibit.
Sebagai penghormatan kepada dua tokoh yang telah wafat tersebut, Teater Ruang menggabungkan kedua nama itu untuk menamai panggungnya. Pemberian nama tersebut baru dilakukan 8 tahun lalu.
Kebetulan dua nama itu jika digabung memang memiliki arti khusus. Kentut--seperti diketahui banyak orang--adalah pembuangan angin dari dalam perut. Adapun Roejito berarti hati yang tertusuk sembilu. "Mirip kehidupan teater yang harus berdarah-darah untuk membuatnya bertahan," kata Bibit. | AHMAD RAFIQ