TEMPO Interaktif, Jakarta - Tak memiliki dua lengan sejak lahir tidak membuat Getun Tri Aena, 7 tahun, patah asa. Getun menikmati setiap detik hidupnya seperti anak-anak kecil lainnya. Dari membantu ibunya di dapur, belajar, memakai pakaian sendiri, hingga bermain keyboard.
Jika ada yang mengejek difabilitasnya, Getun malah berbalik tanya, "Kalau kamu yang ndak punya tangan, gimana?" Namanya memiliki arti tersendiri. Getun berarti kaget, terheran-heran; Tri anak ketiga; dan Aena diambil dari kata aneh. Sarinem, ibu Getun, mengaku terkejut saat anak bungsunya itu lahir, tapi ia hanya bisa pasrah.
Sarinem penjual makanan ringan, sedangkan suaminya, Suwandi, buruh tani. Kondisi Getun membuat mereka tak lagi berani merantau. Mereka pernah bertahun-tahun di Kalimantan dan Sulawesi untuk mencari penghidupan. Kini mereka memilih hidup sederhana di Desa Clapar, Kecamatan Madukara, Banjarnegara, Jawa Tengah.
Semangat Getun untuk berdikari dan mengenyam pendidikan diajarkan ibunya sejak dini. Putri kecil ini selalu diajak ibunya belanja ke pasar. Segala barang bawaannya dibawa Getun dengan cara dikepit di dagu. Sarinem mengajarkannya mandiri.
"Getun bisa mengikuti setiap pelajaran yang kami beri. Bahkan ranking-nya bisa dikatakan tertinggi di kelasnya," ucap M. Fadlulloh, Kepala Sekolah Dasar Negeri I Clapar, sekolah Getun. Fadlulloh berharap semangat membara Getun dalam menuntut ilmu bisa menyebar ke semua siswa.
Kini anak yang selalu percaya diri itu terlihat ceria bersama temannya belajar di kelas dengan meja khususnya. Tak ada muka sedih atau putus asa menghiasi wajah manisnya. Sejumput harapan telah menantinya untuk meraih cita-cita menjadi seorang musikus.
FOTO & TEKS: ARIF WIBOWO (TEMPO)