Pria berkumis tebal itu memakai jas abu-abu dan berdasi kupu-kupu merah. Sepatunya dari bahan kulit berwarna coklat. Sangat berbeda dengan para pejabat daerah tersebut yang memakai beskap lengkap dengan keris atau tombak. Itulah Max Havelaar. Ia memperkenalkan diri sebagai asisten residen Lebak yang baru.
"Tuanku Raden Adipati Bupati Banten Kidul dan sekalian para Raden Demang yang menjadi kepala distrik di daerah ini. Tuan Raden Jaksa yang bekerja menegakkan keadilan, dan Tuan Raden Kliwon yang menjalankan kekuasaan di ibukota, dan sekalian para Raden, Mantri, serta sekalian para kepala di daerah Banten Kidul, terimalah salam takzim saya," katanya.
Max kemudian berpidato. Isinya langsung menukik ke masalah kacaunya roda pemerintahan daerah. Ia menyindir para “raja kecil” itu yang tega menghisap hak orang miskin dan menahan upah kerja mereka. Pembantu residen itu juga menyinggung warga Lebak yang kelaparan hingga lebih memilih bekerja di daerah lain, dan tak memilih mati di tanah kelahirannya sendiri.
Rentetan ucapan Max itu beberapa kali mengusik para tamu. Mereka saling berpandangan dan duduk gelisah. Dak! Seorang pejabat yang duduk dekat Max marah. Ia menghantamkan ujung tombaknya dengan keras ke lantai.
Pidato tokoh karangan Multatuli, yang bernama asli Eduard Douwes Dekker, itu bergema lagi. Selasa malam lalu, di Gedung Kesenian Dewi Asri, Sekolah Seni Tinggi Seni Indonesia, Bandung, Teater Payung Hitam menampilkannya dalam bentuk drama bertajuk Max Havelaar.
Sebelumnya, sutradara Rachman Sabur atau akrab disapa Babeh itu, pernah mementaskan lakon tersebut pada 1984. Naskahnya sama-sama memakai pidato Max Havelaar hasil terjemahan pujangga HB Jassin. Tapi, kali ini Teater Payung Hitam mengemas karya lawasnya itu dengan warna baru.
Dulu, pidato selama setengah jam itu dibawakan monolog. Sekarang, belasan pemain lain ikut berinteraksi tanpa suara. Hanya dengan gerak tubuh, mereka membangun suasana ketika Gaus F.M. yang berperan sebagai Max Havelaar menyampaikan orasi.
Babeh memadukan bahasa verbal dan non verbal atau gerak yang belakangan ini jadi ciri khas kelompok teater berumur 28 tahun itu. "Ini sisi lain dari kerinduan saya dalam menggarap dan memainkan drama-drama verbal," ujarnya seusai pertunjukan.
Pidato Max Havelaar diangkatnya kembali untuk menanggapi kondisi bangsa ini, seperti kelaparan, korupsi, penindasan, pengangguran, muncul akibat keserakahan penguasa. "Isi pidato itu dengan kondisi sekarang sangat relevan," kata Babeh.
Dalam pertunjukannya, ia sengaja menyembunyikan wajah penguasa itu di balik topeng. Selain tak ingin jelas menunjuk pejabat tertentu, ia merasa tetap perlu menghormati para penguasa lalim yang telah wafat.
Buku Max Havelaar, yang terbit pada 1860 itu, berkisah tentang kesengsaraan penduduk Lebak, ibukota Rangkasbitung dulu, di era kolonial Belanda. Tiga pencerita, salah satunya Max Havelaar, menentang kezaliman penguasa pribumi dan bangsanya sendiri kepada warga Lebak. Banyak yang percaya, kisah fiktif itu ditulis berdasarkan kisah nyata Douwes Dekker ketika menjabat sebagai asisten residen Lebak pada 1856.
Untuk merangkai kaitan kondisi zaman itu dengan masa kini, Teater Payung Hitam menampilkan tayangan multimedia di layar latar. Saat membuka pementasan, muncul foto-foto hitam putih suasana masyarakat pedesaan hingga kuli pribumi di zaman kolonialisme.
Sebagai penutup, giliran kliping berita koran tentang kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga bahan bakar minyak yang muncul bergantian di layar. "Zaman kolonial selesai, tapi rakyat kini masih ditindas kebijakan pemerintah. Kita sudah kehilangan panutan, inspirasi, semangat, untuk membangun bangsa ini lebih baik lagi," katanya.
Setelah Bandung, Teater Payung Hitam akan memainkan lakon itu kembali di Universitas Tirtayasa Serang, Banten, besok dan Erasmus Huis Jakarta pada 3 Mei mendatang.
ANWAR SISWADI