Malam itu, jari-jemari Nelson Wisan Rumantir memainkan 25 lagu berwarna klasik pop. Kebanyakan lagu yang dibawakannya cukup populer pada 1970-an dan 1980-an. Penampilan Nelson terasa hangat di telinga. Bahkan untuk penonton yang belum pernah mendengar lagu-lagu yang dibawakannya itu sekalipun.
Dalam Chiquitita karya ABBA, misalnya, Nelson membukanya dengan petikan senar tunggal yang dilanjutkan chord dua atau tiga senar yang membawa suasana sendu dan dilanjutkan dengan keriangan. Saat refrain, bas pada senar enam dan lima bergantian dibunyikan untuk mendampingi melodi berupa chord. Begitu sederhana, tapi mengejutkan. Bait kedua, melodi dilantunkan melalui senar bas sebelum ditutup dengan teknik slur dan tempo yang melambat di akhir lagu.
Nelson, yang tampil elegan dengan rompi dan jas hitam serta kemeja merah di bagian dalam, juga kerap menunjukkan kekayaan teknik yang dimilikinya. Dalam Granada karya Isaac Albeniz, Nelson memborbardir penonton dengan tremolo--petikan yang sangat cepat--di pembukaan. Selanjutnya, rasgueado (seperti rhythm dengan beberapa jari) mengantarkan suasana Latin. Selain itu, pizzicato--menahan suara gitar dengan telapak kanan--yang digunakan untuk menambah sedikit aroma country.
Gitaris terbaik Yamaha 1973 dan 1974 ini juga mengaransemen Romance de Amor yang digabung dengan salah satu karya Mozart dan Prelude (Fransesco Talega). Penonton sempat dibingungkan oleh aransemen awal Nelson. Ia pun membalik bagian pertama Romance de Amor, yakni dari bagian kedua. Toh, bolak-balik ala Nelson ini tetap pas dan tak asal tempel. “Saya ingin menghargai lagu, tidak langsung masuk begitu saja,” katanya.
Tak hanya lagu luar, Nelson juga mengaransemen lagu lokal seperti Tanah Airku (Ibu Sud) dan Gembala Sapi (Aziz Thalib). Suasana riang dalam Gembala Sapi terasa kuat meski menggunakan beberapa chord miring. Sayang, kehangatan Tanah Airku tak cukup kuat dirasakan penonton karena dimainkan bersamaan dengan sambutan panitia yang terkesan terlalu formal.
Ia juga menunjukkan kemampuan enam senar menjelma menjadi orkes kecil. Misalnya, Hotel California karya Eagles yang dibawakan Nelson tak terlihat sepi. Padahal versi akustik aslinya dimainkan dengan lebih dari dua gitar, bas, dan juga kendang. Tapi Nelson bisa merangkumnya dalam satu gitar. Sambutan penonton begitu meriah atas kreasi luar biasa ini.
Malam itu Nelson memang menuai buah kesetiaannya lebih dari 50 tahun bermain gitar nilon. Ia tetap eksis meski banyak gitaris senar nilon tak terdengar lagi namanya. Ketenangannya, termasuk dalam berinteraksi seadanya dengan penonton, terlihat jelas. Ia tak berlebihan dalam mengaransemen lagu, tapi juga tak asal enak didengar. Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto rela duduk dari awal hingga akhir pertunjukan. “Saya dari dulu senang mendengar permainan Nelson. Malam ini, saya melihat wisdom dalam musik Nelson,” ujarnya.
Dua lagu terakhir, La Paloma dan Lake Como, dibawakan oleh kerabat dan sahabat Nelson: Cindy Rumantir, Viky Adrian, dan John R. Legoh. Sayangnya, kuartet ini tampil kurang kompak. Toh, apresiasi penonton tak berkurang sama sekali.
Bahkan penonton meminta Nelson kembali tampil. Nelson pun membawakan dua lagu The Beatles, Hey Jude dan She’s Woman, serta lagu Bee Gees, Words. Meski hanya lagu tambahan, Nelson sama sekali tak mengurangi kualitas permainan. Ia seperti tak lelah menggerakkan jari-jari tuanya. Jari-jari yang setia memetik gitar nilon kebanggaannya.
PRAMONO