Dari 28 lukisan karya pengasuh pondok pesantren Roudlotul Fatihah, di daerah Plered, Bantul ini, tujuh di antaranya adalah karya lama (2009). Sisanya merupakan karya baru tahun 2010. Pameran yang dibuka oleh Bupati Bantul, Idham Samawi, ini berlangsung 23-30 April 2010.
“Saya termasuk orang yang percaya bahwa lukisan itu tidak netral. Bagi saya, estetika saja tidaklah cukup. Lukisan harus punya pengaruh positif bagi penikmatnya,” kata K.H. Fuad Riyadi, yang pernah menjadi sastrawan dan jurnalis sebelum akhirnya memimpin pondok pesantren ini.
Menurut KH Fuad Riyadi, sebuah karya lukisan bisa mengeluarkan aura positif atau negatif. Jika lukisan itu memiliki aura positif, maka akan membangkitkan hal-hal positif pula bagi penikmatnya. Demikian pula sebaliknya. “Saya jadi berpikir, jangan-jangan para koruptor itu mengoleksi lukisan yang beraura negatif,” ujarnya.
Alumnus Sastra Indonesia IKIP Negeri Yogyakarta tahun 1995 itu menjamin bahwa lukisan yang dipamerkannya itu memiliki aura positif. Lukisan karya Kiai Fuad diklaim bisa menyembuhkan penyakit mulai yang ringan seperti stress hingga kanker. “Saya hanya bertugas menjadi pelayan penjaga kehidupan dengan memberi aura positif bagi masyarakat Indonesia dan dunia tanpa pandang agama,” katanya.
Boleh dibilang, lukisan Kiai Fuad ini memang unik. Ketika melukis, ia harus dalam kondisi on meditation dalam iringan suara dzikir. Pada awal mulai melukis, 2009, Kiai Fuad selalu menggoreskan cat ke kanvas dengan jari-jarinya. Lalu, ia menuliskan sebuah doa di belakang lukisan yang sudah jadi.
Belakangan, gaya melukis Kiai Fuad agak berubah. Pada 2009, Kiai Fuad cenderung memilih warna-warna tegas seperti merah, hijau, kuning, biru, dan ungu. Menginjak 2010, ia cenderung memilih warna-warna lembut, seperti coklat muda, kuning, hijau muda dan putih.
Meski masih mempertahankan gaya abstraknya, ia mulai jarang melukis langsung dengan jari-jarinya. Ia mulai memilih teknik sapuan kuas untuk mendapatkan efek lelehan yang natural, dikombinasi dengan goresan-goresan dari benda keras.
Namun, perubahan paling mencolok terjadi pada cara Kiai Fuad memperlakukan teks. Dulu, teks berupa doa ditorehkan di belakang kanvas lukisan. Kini, teks itu justru menjadi elemen penting dan muncul hampir di setiap karyanya.
Pada lukisan berjudul Rajah Raja Rajah, misalnya, Kiai Fuad menyesaki kanvasnya dengan teks berupa penggalan kata-kata. Namun, pada lukisan bertajuk Solehah, ia bahkan tak ragu-ragu menuangkan sebaris kalimat “aku mau mencintai asal sudah dinikahi, meski cuma siri.”
“Saya juga enggak tahu mengapa teks itu perlu ada. Kadang-kadang teksnya sudah ada duluan, saya tulis duluan di kanvas sebelum ada lukisan,” ia menjelaskan.
Kurator Netok Sawiji Rusnoto Susanto menyatakan, kehadiran teks itu menjadi indikasi bahwa Kiai Fuad sedang tak percaya diri, sehingga pesan-pesan simboliknya perlu ditegaskan dalam bentuk teks. “Namun, bisa jadi kehadiran teks itu sebagai ledekan Kiai Fuad terhadap seni lukis kontemporer, di mana teks justru menjadi elemen yang dominan dalam sebuah lukisan,” katanya.
HERU CN