TEMPO Interaktif, CERITA pendek sejatinya sebuah karya sastra yang menyajikan imajinasi verbal. Tapi, di tangan para seniman, cerpen bisa menjadi sumber inspirasi untuk menghasilkan gagasan visual, sekaligus uji rasa atas selera dan naluri artistik mereka. Tak mengherankan bila Ugo Untoro mengaku seakan mabuk dalam imajinasi yang tertransfigurasi kala cerpen karangan Triyanto Triwikromo membuatnya terdorong untuk menerjemahkannya secara visual di atas kanvas.
Maka jadilah sebuah lukisan bertajuk Puisi Panjang Triyanto Triwikromo. Lukisan berlatar warna tanah itu mencantumkan beberapa penggal tulisan tangan bersambung, “kedua tokoh pun bicara seperti sedang membaca puisi tak ada karakter di situ”.
Pengalaman Ugo merespons karya cerpen mungkin juga dirasakan 21 seniman yang menggelar pameran di Jakarta Art District, Grand Indonesia, Jakarta, 27 April-2 Mei 2010. Sebagian besar berasal dari Yogyakarta, seperti Arie Dyanto, Bambang “Toko” Witjaksono, Bobo Yudhita Agung, Dipo Andy, Eddie Hara, Gusmen Heriadi, Ugo Untoro, Hayatuddin, Jumaldi Alfi, Pande Ketut Taman, Robi Fathoni, dan Saftari.
Dalam pameran bertajuk Transfiguration yang disuguhkan Galeri Semarang itu, para seniman menggunakan satu dari cerpen karangan Triyanto Triwikromo yang terangkum dalam Ular di Mangkuk Nabi, buku kumpulan cerpen yang sempat diganjar Penghargaan Sastra 2009 dari Pusat Bahasa, Jakarta, sebagai sumber inspirasi dalam berkarya.
Simaklah lukisan karya Sigit Santosa berjudul Sepasang Tanda pada Tubuh Tersalib. Lukisan itu menggambarkan tubuh laki-laki yang terbentang dengan dua garis lurus bersimbol salib yang seolah memotong ruas tubuhnya secara simetris. Dua garis lurus berwarna merah itu juga memisahkan dua tanda bibir merah yang dikecupkan di dada kiri dan bawah pusar. Karya ini merupakan sublimasi atas cerpen yang berjudul Sepasang Ular di Salib Ungu.
Bukan hanya sebatas lukisan, cerpen Triyanto juga merasuki seniman untuk membuat karya instalasi. Hardiman Radjab, misalnya, terinspirasi cerpen berjudul Malaikat Kakus pada saat membuat karya instalasi berupa kloset duduk berwarna merah bata dengan lubang jamban yang ditutupi kaca bundar. Oleh “perupa koper” itu, sosok malaikat dalam karya bertajuk serupa dengan cerpennya tersebut dijelaskan sebagai makhluk kasatmata yang tak tergambarkan. Wahyudin justru melihatnya dengan pandangan unik. “Malaikat yang berkhianat pada Tuhan disebut setan. Dan dalam kakus ada dua setan penghuni, yakni Hubutsi (jin laki-laki) dan Khobais (jin perempuan),” ujarnya.
Menurut kurator Wahyudin, mentransformasikan imajinasi verbal menjadi khayalan visual sungguh bukan pekerjaan yang remeh. “Apalagi ketika mereka harus mengerahkan daya cipta di bawah bayang-bayang kediktatoran sang empunya cerita,” katanya. Namun jalan untuk mencampurnya tanpa perlu menonjolkan ego salah satu di antaranya tetap tersedia.
Inilah yang dilakukan perupa Eddie Hara lewat penggambaran karikaturalnya yang tak lazim. Kali ini, perupa yang dikenal sejak 1980-an itu menggunakan cerpen Triyanto berjudul Hantu di Kepala Arthur Rimbaud. Dalam lukisannya yang diberi judul Kepada Pak Lik Rimbaud yang Terhormat dan Konco-konconya, Eddie menciptakan sosok alien bercampur binatang, ada yang bertanduk lembu dengan badan robot, ada pula tikus yang berjenggot.
Cerpen tentang Rimbaud juga dituangkan Dipo Andy dengan instalasi dua mumi kelelawar yang tubuh bagian belakangnya berimpitan. Mumi yang disematkan dalam kotak kaca tersebut diberi judul Bulan Berlumur Lumpur. Sebuah imajinasi seram yang dikedepankan dari sosok hantu di atas kepala sang Rimbaud.
Namun tak selamanya karya para perupa berjalan selurus cerpen-cerpen Triyanto. Tengok saja lukisan berjudul Bacalah karya Bambang “Toko” Witjaksono. Di situ tersirat adanya sebuah perlawanan sastra: cerpen versus komik. Digambarkan sepasang muda-mudi tengah melihat sebuah komik remaja. Struktur lukisan ini dibuat persis seperti gambar dalam komik, dengan ciri khas penguatan dari dialog yang digambarkan. “Lagi baca cerpen, ya?” Lalu sang pemuda menjawab, “Mending baca komik, banyak gambarnya!”
“Ketidakberpihakan” agaknya juga merangsang A. Ibnu Thalhah. Melalui karyanya, Jangan Mau Takluk pada Rezim Teks, tapi Jangan Membakarnya!, Ibnu mengilustrasikan otak manusia yang dibelenggu oleh manusia-manusia lain yang berdempet seolah menyatu. Di bawahnya, seekor binatang lucu, yang mungkin saja merupakan perwakilan komik atau seni nonteks lainnya, tampak sigap dengan sebatang ranting kayu.
Di sinilah sebuah transfigurasi berlangsung. Tak hanya secara material, tapi lebih pada sebuah kreativitas yang terjembatani, meski menggunakan medium yang beragam.
AGUSLIA HIDAYAH