Pesan itu hendak disampaikan oleh Muhammad Taufik, Tiar Sukma Perdana, dan Marendra Surya Ningtyas, tiga seniman muda yang tergabung dalam Komunitas Manual or Dead, dalam pameran lukisan bertajuk “Twisted”, yang digelar di Galeri Nasional Indonesia, Jalan Merdeka Timur 14, Jakarta, 20-30 April 2010.
Dalam pameran dengan kurator Ade Darmawan itu, ketiganya tak hanya berbagi mimpi buruk personal mereka, tapi juga menantang dan mendorong interpretasi visual hingga batas-batas ketakutan dan rasa nyaman. Dengan teknik hand-drawing atau manul--ciri khas para seniman Komunitas Manual or Dead--mereka menyajikan figur-figur tak lazim yang membuat bergidik: tubuh yang terpotong, wajah yang dikuliti, dan ceceran darah di mana-mana.
Tengok lukisan berbahan cat air berjudul Fashion-Nista karya Muhammad Taufik. Dengan pengalamannya sebagai desainer dan ilustrator lepas di berbagai media, pelukis 31 tahun itu menampilkan pose para model fashion yang biasa muncul di berbagai majalah gaya hidup. Dengan teknik yang mendetail dan ilustratif yang kuat, wajah-wajah cantik dan tampan itu tak ada yang dibiarkan mulus. Ada yang kelopak matanya ditarik kuat-kuat, ada juga yang berpose sambil menguliti sebagian kulit wajahnya dengan tang hingga terlepas.
Karya lain seniman yang akrab dipanggil Em Te itu juga tak kalah mengerikan. Dalam tampilan warna hitam-putih, dia melukis seorang gadis yang tengah bermain ayunan di sebuah dahan pohon besar. Tali ayunan itu dikaitkan pada wajahnya hingga kulitnya terlepas, memperlihatkan otot dan daging yang segar.
Wajah yang tercabik-cabik juga terlihat dalam lukisan berjudul Nightmare. Lukisan yang terdiri atas beberapa potret keluarga, lengkap dengan anak-anaknya, itu seolah-olah mengajak pengunjung pameran menikmati mimpi buruknya tentang keluarga melalui gambar foto yang terdistorsi. Tak Cuma kulit wajah yang terkelupas, mata terbelalak dengan lidah terjulur, beberapa kepala bahkan pecah dengan darah segar yang memuncrat.
“Ia sedang mengungkapkan ketidaknormalan yang terselubung dari sebuah foto keluarga yang selalu menjadi representasi dari sebuah konstruksi yang terpusat dan terkontrol,” kurator Ade Darmawan menjelaskan.
Mimpi buruk tentang ketakutan dibeberkan Tiar Sukma dengan menguliti figur manusia dan binatang dalam karya-karya lukisnya. Manusia dan bintang dalam lukisannya tampil dengan kulit tercabik hingga tulang, otot, dan organ-organ dalam tubuhnya kelihatan, seperti tergambar dalam lukisannya berjudul Alkohol, Belati, dan Emas serta lukisan empat serigala ganas bertajuk Liar.
Personel band Brisik, yang beraliran grind core, itu menampilkan pula horor yang ada dalam ingatan orang kebanyakan tentang posisi atau profesi yang hampir tidak pernah menjadi perhatian di masyarakat, seperti badut, penari ular, dan sirkus. Dalam Red Nose, dia menampilkan wajahnya sendiri dengan makeup seorang badut, lengkap dengan hidung merah bulatnya. Tersusun dalam tiga panel lukisan, dia menampilkan tiga wajah badut sebagai sebuah teror: wajah menyeringai, wajah menyeringai tanpa kulit, serta wajah tanpa kulit dan bola mata. “Kita memang tidak setiap hari bertemu dengan figur-figur itu, tapi kita punya banyak bayangan dan stereotipe tentang keasingan, keanehan, bahkan ketakutan atasnya,” kata Ade.
Marendra Surya Ningtyas, 29 tahun, juga menawarkan imajinasi buruk lewat tampilan dua ikon produk industri hiburan Amerika, Superman dan Mickey Mouse. Mickey Mouse, yang bisanya tampil lucu dan jenaka, dia ubah menjadi figur jahat dan sadistis dalam karya Don’t Make Me Angry (Jangan Membuatku Marah). Di situ tampak sang tokoh kartun kesayangan anak-anak itu membawa belati berlumuran darah di samping seorang anak yang tergeletak dengan darah bercucuran. Lain lagi dengan Superman. Reren dengan “keusilan”-nya membuat tokoh superhero itu terlihat tua renta di atas kursi roda, lemah tak berdaya.
Ade menuturkan, ada modus apropriasi yang kuat dari ketiga seniman itu. “Mereka mengambil citra yang telah ada di ranah publik dengan muatan ingatan-ingatan dan kenyataan-kenyataan, lalu mempertanyakan ulang dengan memutarbalikkan gagasan awalnya, merusak, dan lebih jauh membuat gusar,” ujarnya.
Ya, membuat gusar, karena membuat kita yang menikmati karya-karya tersebut menjadi sulit menempatkan pikiran dan perasaan-perasaan kita atas paparan gambar serta citra yang bertumbukan secara kontras. Bahkan ekstrem, nyata dan ilusi, mengganggu dan mengancam, tapi sekaligus juga indah.
NUNUY NURHAYATI