Tari Srimpi Neyeng, begitu nama tarian hasil kreasi itu, yang berarti Rimpi yang berkarat. Sepintas, gerakan Srimpi Neyeng tersebut tak jauh berbeda dengan Srimpi Ludiromadu, ciptaan dari Pakubuwana IV, yang berkuasa di Keraton Kasunanan Surakarta pada sekitar 1800. Pakaian yang dikenakan oleh penarinya juga hampir sama dengan penari Srimpi biasa.
Bedanya, iringan musik dalam Srimpi Neyeng tersebut menggunakan gamelan berirama Kodok Ngorek, yang sering digunakan dalam upacara adat. Terkadang, musik pengiring tersebut berbaur dengan riuhnya suara knalpot di jalan raya.
Srimpi Neyeng dibawakan tiga penari perempuan dan satu pria. Selain mengenakan pakaian Srimpi, ketiga penari perempuan itu melilitkan gulungan tikar yang robek di beberapa tempat. Seorang dalang perempuan duduk bersimpuh sembari bersenandung.
Mereka menari layaknya tari Srimpi. Ritme tariannya mengikuti suara ketukan dalang pada sebuah kotak dari kayu. Menjelang akhir pementasan yang berdurasi sekitar 45 menit tersebut, mereka melepas tikar yang melilit tubuhnya sembari terus bersenandung. Dalang perempuan menjahit beberapa helai tikar tersebut dengan sebuah tali.
Menurut sang koreografer Mugiyono Kasido, tarian tersebut merupakan sebuah kritikan kepada penguasa mengenai bagaimana mereka memperlakukan sebuah seni tradisi. Menurut dia, kesenian hanya dimiliki tanpa sekali pun dipelihara. “Akhirnya berkarat,” kata Mugiyono.
Mugiyono menyatakan, ia menciptakan tarian tersebut sejak tahun lalu. “Setelah ada negara yang mengklaim jika Tari Pendet merupakan miliknya,” ujar lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Solo tersebut. Dari kasus tersebut, ia menyadari bahwa Indonesia memiliki kekayaan seni tradisi yang dibiarkan berkarat tanpa dirawat.
Dan yang cukup istimewa, pementasan Srimpi Neyeng tersebut merupakan pementasan perdana di sanggar Mugi Dance. “Selama ini sanggar hanya untuk latihan,” kata Mugiyono.
Dalam garapan ini, Mugiyono juga pertama kalinya berkolaborasi dengan ibunya, Murharti, yang tampil sebagai dalang. Menurut dia, kolaborasi tersebut untuk menggambarkan jika sebuah seni tradisi harus dilestarikan secara turun temurun.
AHMAD RAFIQ