Komar memastikan, corak batik itu unik dan belum pernah dilihatnya di mana pun, baik dari buku-buku atau karya pengrajin batik yang beredar selama ini. Motif dan komposisinya sama sekali berbeda dengan batik Jawa, bahkan dengan batik Tasik, batik Garut, atau batik Cirebon yang tumbuh di Jawa Barat. Gambarnya terlihat megah.
Ketujuh motif batik itu bernama Banyak Ngantrang, Ragen Panganten, Gaganjar, Hihinggulan Rama, Hihinggulan Resi, Hihinggulan Ratu Binokasih, dan Hihinggulan Nanoman. Lebih dari 20 motif batik lainnya masih disimpan keluarga Lalam.
Batik pajajaran, kata Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat itu, lebih dominan memakai lambang tumbuhan, seperti daun pakis dan bunga loa. Adapun simbol hewan memakai burung berparuh panjang dengan sayap mengembang. Sebagai tanda kebesaran pemakainya, motif batik itu juga memakai lambang mahkota, trisula, serta kujang – senjata tradisional masyarakat Sunda.
Seluruh batik itu dibuat di atas kain berwarna dasar hitam. Adapun warna motifnya yang dibuat Komar hanya putih. “Soal pewarnaan, ada arahan dari keluarga almarhum. Warna-warna di kalangan masyarakat Sunda itu hitam, biru tua, merah hati, dan coklat,” kata magister lulusan Fakultas Seni Rupa Desain Institut Teknologi Bandung itu.
Warna-warna gelap tersebut konon berasal dari bahan alam. Warna merah dihasilkan dari buah galinggem (Bixa orellana), warna coklat dari tanah, dan warna biru dari daun pohon tarum (Indigofera spec.div). Adapun bahan perintang yang dipakai adalah lilin yang berasal dari sarang lebah. Dalam pengerjaannya, Komar masih memakai bahan-bahan sintetis. “Soalnya kalau sekarang pakai bahan alam sementara jumlah pesanannya banyak, kita bisa kerepotan,” ujarnya.
Keunikan batik Pajajaran lainnya adalah tak memakai isen-isen, dan gambar motifnya tak menutupi seluruh bidang kain. Juga selalu ada celah tipis sekitar 0,3 milimeter antar bagian gambar sehingga menimbulkan kesan garis.
Gaya itu, tutur Komar, masih menyulitkan pengrajin di tempatnya yang biasa memainkan canting batik tulis. Seorang pengrajin membutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan untuk menyelesaikan selembar kain standar yang berukuran lebar 107 centimeter dan panjang 260 centimeter.
Menurut Euis Lalam Wiranatakusumah, mendiang suaminya telah membuat motif batik Pajajaran sejak berusia 14 tahun. Keturunan menak Bupati Bandung pertama Wiranatakusumah itu wafat pada usia 58 tahun pada Januari lalu di Majalaya, Bandung. Karyanya mengacu pada sejumlah naskah kuno, seperti Sang Hyang Siksakandang Karesian yang ditulis pada 1518.
Isi naskah itu, antara lain, tentang batik yang sudah dikenal masyarakat Sunda pada abad ke-12. “Selama kurang lebih 500 tahun batik Sunda terkubur,” kata Euis saat dihubungi Tempo, Kamis lalu. Pada zaman itu, tak cuma batik tulis yang dibuat, melainkan juga batik tenun dengan alat bernama keuntreung.
Dalam naskah lain, Ratu Pakuan, diceritakan ketika pernikahan Prabu Siliwangi dengan Ratu Ambet Kasih, salah satu perlengkapan yang dipakai adalah sinjang dodot (kain panjang). Motifnya diperkirakan memakai Ragen Panganten. Adapun motif batik Banyak Ngantrang, digunakan saat upacara penobatan Prabu Siliwangi sebagai Raja Pajajaran. Kedua motif itu telah didaftarkan hak ciptanya oleh pemerintah Kota Bogor.
Menurut Euis, keluarganya belum bisa mengeluarkan seluruh karya Lalam untuk dibuat para pembatik secara massal. Pembuatannya harus ditulis, bukan memakai cetakan.
Ihwal harga batik Pajajaran, baik Komar maupun Euis mengaku belum menentukan harga jualnya. Pastinya, tutur Komar, biaya produksi selembar kain batik Pajajaran mencapai Rp 1,5 juta. “Batik itu bisa dipakai sebagai kain atau baju.”
ANWAR SISWADI