Mengikuti alunan gamelan dan nyanyian pesinden, gerakan awal tangan, kaki, dan leher penari itu sederhana. Terlihat seperti sedang pemanasan. Setelah beberapa menit, gerak tubuhnya mulai penuh, bertenaga, dan bervariasi. Tak terasa, para penari yang sudah kakek-kakek itu masih sanggup tampil lebih dari 10 menit.
Acara tayuban yang digelar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung itu mengundang para penari tradisional dari berbagai daerah. Misalnya, Atot dari Garut, Wahyudin asal Sumedang, dan penari tayuban dari Bogor, Cirebon, serta Bandung. Berlangsung di Gedung Kesenian Dewi Asri, STSI Bandung, pada Sabtu kemarin, tarian itu didokumentasikan sebagai upaya konservasi seni tradisi.
Menurut dosen Jurusan Tari STSI Bandung Anis Sujana, tayuban adalah tarian pergaulan yang semula berkembang di kalangan menak, priayi, atau bupati, di tanah Jawa. Tarian itu diperkirakan tercipta ketika para ningrat mendengar suara gamelan sambil mabuk tuak atau minuman beralkohol dari penjajah Belanda dulu. "Dari gamelan bisa muncul rangsangan auditory yang menjadi gerak, seperti ketika nonton dangdut," katanya. Setelah itu, mereka mengajak ronggeng atau penari perempuan.
"Awalnya cuma tayuban saka, ya sakadaek, sakainget (seenaknya, seingatnya)," ujarnya. Perkembangan tayuban di Jawa Barat kemudian terpengaruh oleh tari topeng dari Cirebon yang dimainkan berkeliling pada 1920-an. Pengaruh itu, kata Anis, yang membuat tayuban di Jawa Barat agak berbeda dengan tayuban di Jawa Tengah atau Jawa Timur.
Dari lingkungan kediaman priyayi dan pendopo Bupati, tayuban kemudian masuk ke perkampungan rakyat. Tayuban lalu bercampur dengan tarian ketuk tilu, doger, dan pencak silat. Di Pangandaran, kata Anis, tayuban bercampur dengan tarian ronggeng gunung. Di tempat lain berpadu dengan kesenian bangreng dan gembyung.
Sampai sekarang, tayuban dengan segala paduannya itu masih dimainkan dalam pesta hajatan atau ritus tertentu. Misalnya, di Subang, Sumedang, Pangandaran, dan Ciamis. Ciri khasnya, tarian dengan iringan gamelan itu masih didampingi minuman keras, ronggeng, dan sawer atau pengumpulan uang dari penonton. “Apakah yang seperti itu masih perlu dilestarikan atau cukup diambil gerak tariannya saja, itu perlu dipikirkan,” katanya.
ANWAR SISWADI