TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Seorang anak lelaki terlihat menutup lubang telinganya dengan telunjuk. Sementara, dengan agak takut-takut, tangan kirinya menyorongkan api ke lubang meriam bambu. Sejumlah anak menyaksikan adegan itu, dan berharap mendengar suara dentumannya.
Perupa Dani Ramdani, 30 tahun, menggambarkan adegan permainan meriam bambu yang biasanya ramai pada bulan puasa itu dengan cermat. Suasana tegang menunggu suara dentuman saat api disodorkan ke mulut meriam bambu, tertangkap jelas pada lukisan berjudul Lodong yang bergaya realis itu.
Pada lukisan lain, Ramdani juga bergitu cermat menggambarkan adegan anak-anak yang sedang adu panggal (gasing). Seorang anak terlihat begitu bernafsu mengayunkan gasing untuk mengalahkan gasing musuhnya yang telah berputar kencang di permukaan tanah.
Tak hanya meriam bambu (lodong) dan gasing (panggal), Ramdani juga menghadirkan lukisan tentang permainan anak-anak yang terbuat dari bambu, seperti sumpit, egrang, baling-baling (kolecer) dan kokoprak (alat pengusir burung di sawah). Dengan menggelar pameran tunggal bertajuk BambooisMe di Taman Budaya Yogyakarta, 24-30 April 2010, Andi Ramdani seperti sedang memanggil kembali ingatan masa lalunya.
“Itu memang masa lalu saya. Itulah permainan sehari-hari masa kanak-kanak saya saat di desa. Sekarang, permainan itu sudah jarang ditemui,” kata lelaki kelahiran Desa Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat ini, saat ditemui di ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu (24/4).
Ramdani menyadari, tak mungkin mengembalikan permainan anak-anak tempo dulu yang menurutnya sangat mengasyikkan itu. Zaman telah berubah. “Karena itu, saya hanya bermaksud mengenalkan kembali permainan anak-anak itu, meski hanya lewat lukisan,” kata alumnus jurusan senirupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 2009 ini.
Meski tak mungkin memutar waktu, kegelisahan Ramdani tentang tergusurnya permainan anak-anak tempo dulu itu tergambar jelas pada lukisan berjudul Komunikasi Digambarkan ada dua sosok anak lali-laki, yang satu sedang membuat mobil-mobilan dari bambu dan sandal jepit bekas, sementara anak satunya lagi sedang asyik bermain playstation.
Pada pameran ini Ramdani mengusung 30 lukisan dan lima karya tiga dimensi dan instalasi. Selain patung binatang seperti domba dan kijang yang tersusun dari ruas-ruas bambu, juga dihadirkan sebuah replika dinosaurus yang terususn dari rautan-rautan bambu. Itu sebabnya, karya ini diberi judul Bambbosaurus.
“Karya ini merupakan kolaborasi saya dan dua orang rekan saya. Sebenarnya hanya untuk merespon ruang pamer yang besar ini, karena karya-karya saya relatif kecil-kecil,” jelasnya.
Tak hanya replika dinosaurus yang tingginya nyaris menyentuh langit-langit ruang pamer, Ramdani juga mengusung sepeda serta egrang ke dalam ruang pamer. “Pengunjung pameran boleh menaiki sepeda atau egrang di ruang pamer,” katanya. Meski sepeda balap itu buatan pabrik, Ramdani sengaja memberi sentuhan pada rangkanya sehingga terkesan terbuat dari bambu.
Ramdani memang tidak bisa dipisahkan dari bambu. Sejak kecil ia akrab dengan permainan anak-anak dari bahan bambu. Ia juga selalu melukis bambu saat masih menjadi mahasiswa. Itu sebabnya, teman-teman kuliahnya sering menyebut lukisan karya Ramdani beraliran bambooisme. “Judul pameran ini juga bisa dibaca bamboo is me, karena saya sejak kecil hingga saat ini tak bisa lepas dari bambu,” paparnya.
Kurator AA Nurjaman mengatakan kekuatan Ramdani terletak pada teknik realistiknya. Itu sebabnya sebagian besar materi pameran adalah lukisan (tentang bambu) yang bergaya realis. Ramdani menurutnya terpengaruh oleh konvensi seni lukis masa kolonial karena seni lukis realis masuk ke Indonesia sejak zaman kolonial.
Heru CN