Ke 26 perempuan di dalam kubangan lumpur berukuran 3 x 3 meter itu ada yang berteriak, berjoged, meniup api dengan minyak tanah dari mulut, dan ada pula yang hanya mandi lumpur. Semua itu merupakan ekspresi bebas para perempuan yang tergabung dalam komunitas Limbuk-Cangik Yogyakarta untuk memperingati semangat Kartini, tokoh perempuan yang berjasa bagi penyetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.
“Lumpur sawah adalah awal dari kehidupan, manusia berkubang lumpur bisa menjadi kabar baik dan kabar buruk,” kata Lusi Ekawati, Koordinator komunitas Limbuk-Cangik, Rabu siang kemarin.
Sebelumnya, sekitar 70 penari dan pemain musik menampilkan tarian-tarian dan aksi teatrikal berdasarkan apa yang dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga. Dari petan (mencari kutu rambut), menyapu, mencuci, momong anak, perang mulut menagih hutang, hingga ada yang kerokan.
Pertunjukan oleh kaum perempuan, hanya ada dua laki-laki dewasa dan beberapa anak kecil yang ikut tampil dalam pertunjukan yang digelar di tengah sawah itu, dikemas dalam bentuk simbolik imajiner komposisi gerak tari. Selain itu, eksplorasi suara benda menonjolkan unsur seni kontemporer. Soal bunyi, bisa muncul dari mulut maupun benda-benda seperti botol air kemasan, kentongan, dan lain lain, sehingga menjadikan pertunjukan tersebut sangat hidup.
Tarian dengan gerakan simbol berdoa diiringi lagu Lir-Ilir. Lalu di tengah gerakan tari muncul penari lain yang membawa wayang “Milenium” yaitu Limbuk dan Cangik sebagai simbol pengayom.
Ada juga tarian yang ditampilkan menimbulkan rasa senang dan rasa syukur yang diekspresikan dalam gerakan-gerakan rampak. Lalu disusul gerakan-gerakan yang enerjetik dan simbolik tentang kehidupan perempuan sehari-hari.
“Pertunjukan ini sebagai ekspresi bebas kaum perempuan, Kartinilah yang menjadi inspirator perempuan dalam kehidupan yang setara dengan lelaki atau emansipasi,” ujar Nunung Deni Puspitasari, konseptor pertunjukan.
MUH. SYAIFULLAH