Dialah Raden Ajeng Kartini. Ia bukan hanya sosok cerdas yang berasal dari kalangan ningrat, tapi juga seorang pendobrak dari semua adat yang merugikan kaum perempuan pada zamannya.
Kartini, diperankan oleh Asri Mery Sidowati, menarasikan cuplikan-cuplikan surat gadis Jepara itu dalam sebuah sketsa pada Selasa malam pekan lalu. Sketsa drama mini bertajuk Panggil Aku Kartini Saja itu digelar di Goethe Haus, Menteng, Jakarta. "Ini bukan tafsir ulang tentang surat-surat Kartini, tetapi murni membaca suratnya," kata sutradara sekaligus koreografer, Laksmi Notokusumo, seusai gladi bersih.
Dalam proses penyusunan naskah, Laksmi dibantu oleh Umi Lasmina sebagai kurator ratusan surat itu. Hanya dalam 2 pekan ratusan surat itu dicuplik kemudian dikolase menjadi sebuah naskah narasi. Hasilnya adalah sketsa drama berdurasi 90 menit. "Sangat susah menemukan buku-buku tentang surat Kartini. Seperti sudah hilang ditelan bumi," ujar Laksmi.
Dari segi pementasan sebuah teater, tata panggungnya sangat sederhana. Ornamen yang digunakan adalah meja kerja Kartini dan kursi malas yang cukup mewakili setting tempat. Laksmi memampatkan sedemikian rupa naskah dari cuplikan ratusan surat yang menakjubkan itu. Kisahnya dibuat dalam bentuk naratif. "Minim dialog antarpemain agar isi dan pesannya tidak bias," Laksmi menjelaskan.
Lewat pementasan malam itu, Laksmi berupaya mematahkan gambaran sosok Kartini yang angkuh, selalu menjaga wibawa seperti terlihat dalam foto-foto lawas itu. Dari surat-surat yang ia baca, ternyata Kartini memiliki sifat kenakalan kanak-kanak, selalu menjaga penampilan sebagai perempuan agar tetap terlihat anggun. Bahkan ia tak mau ketinggalan oleh lingkungan yang, menurut dia, menyenangkan: membatik atau berenang di laut bersama adik-adiknya.
Sang ibu mengajarkan Kartini menari sebagai kemampuan yang harus dikuasai perempuan ningrat terhadap kesenian saat itu. Meski Kartini sangat memahami bahwa menari adalah satu sisi gelapnya, menjadi seorang yang mirip ledek.
Laksmi mengatakan ingin menghadirkan kisah Kartini secara kompleks, tak melulu dirinya sendiri. Bersama kedua adiknya, Rukmini (Nana Sunar Sasih) dan Kardinah (Poppy Parisa Agussusanti), sepertinya Kartini tak bisa terpisah satu sama lain. Bahkan pemikiran-pemikiran modern itu tak sekadar keluar dari pemikiran Kartini. Ia dibantu oleh kedua adiknya. Mereka menggugat atas kedudukan perempuan yang selalu menjadi terbelakang dan kurang penting kehadirannya dibandingkan dengan laki-laki.
Haruskah perempuan kawin? Haruskah perempuan dikatakan sempurna jika telah memiliki anak? Itulah yang selalu didengungkan Kartini pada salah satu surat untuk sahabatnya, Stella Zeehandelaar. Ia sangat terusik oleh banyaknya anak yang lahir telantar, entah menjadi ronggeng atau selir-selir bangsawan.
Begitulah Kartini, Kardinah, dan Rukmini mendapatkan pendidikan Eropa dari ayahnya. Semula mereka bertiga sangat menginginkan belajar ke Eropa. Namun, apa daya, kala itu perempuan tak mendapat kemudahan untuk mengenyam pendidikan dibandingkan dengan laki-laki meski seorang bangsawan.
Beberapa hal yang tak pernah kita duga sebelumnya tentang sosok Kartini terlihat dari surat-suratnya. Awalnya Kartini tak menghendaki sebuah pernikahan karena begitu banyak anak yang telantar saat itu. Dalam suratnya kepada sahabatnya, Stella, di Belanda, ia menulis apakah perempuan selalu dikatakan sempurna jika telah memiliki anak sementara mereka belum tentu bisa merawat anak-anaknya itu dengan baik. Gugatan-gugatan semacam itulah yang keluar dari pemikiran Kartini. “Dia seperti kuda liar yang lepas di padang rumput,” kata Laksmi.
Yang lebih mencengangkan, Kartini seolah tak sependapat dengan agama. Sebab, agama selalu membuat tatanan antara manusia satu dan manusia lain menjadi buruk. "Tuhanku adalah nuraniku. Surgaku dan nerakaku adalah nuraniku," tutur Kartini dalam sebuah suratnya. Hingga akhirnya ia pun tersadar, bukan agama yang menjadi sebab, melainkan perilaku manusialah sebagai pangkalnya. l ISMI WAHID