TEMPO Interaktif, Jakarta -Bumi telah mati. Bencana alam telah menghanguskan kehidupan di atas tanah. Tak ada tumbuhan maupun binatang. Habitat manusia perlahan tergerus oleh seleksi alam. Hanya mereka yang mampu bertahan yang hidup. Ada yang tetap hidup dengan kemanusiaannya, banyak pula yang mengambil jalan menjadi kanibal, pemakan sesama.
Jalan lurus pun dipilih Vigo Mortensen dan anaknya Kodi Smith-McPhee. Usai kematian sang istri karena tak kuasa menahan cobaan itu, keduanya keluar dari rumah yang kini tak aman lagi. Berdasarkan petuah almarhum istri, keduanya berjalan menuju selatan bumi. Namun, petunjuk itu tak menjelaskan apa yang pantas di kejar di sana.
Dalam film The Road, mereka terus menyusuri jalan gersang, ditemani sepucuk pistol yang hanya berisi dua peluru dan keranjang troli berisi barang rongsokan berharga. Semangat mereka tak selamanya tegar. Bahkan keduanya kerap di rundung kebimbangan untuk bunuh diri.
Dalam film ini akting Mortensen yang biasanya ciamik tampak hambar. Tak ada suguhan spektakuler seperti kala ia bermain sebagai Aragorn dalam The Lord Of The Ring . Sang sutradara, John Hillcoat, hanya memolesnya menjadi seorang bapak yang tegar dan bertanggung jawab, lalu mati karena penyakit.
Di tangan Hillcoat, seharusnya film ini bisa tampil maksimal. Apalagi film ini diangkat dari novel karya Cormac Mc Carthy yang memenangkan penghargaan Pulitzer. Film ini juga pernah memenangi ajang San Diego Film Criticts Society Awards 2009 sebagai film dengan sinematografi terbaik.
Kisah epic perjalanan ini seharusnya tidak menjemukan jika Hillcoat menghadirkan lebih banyak konflik. Sayangnnya, yang tersaji cuma ketakutan dengan para kanibal dan bayangan masa lalu. Tak ada penjelasan mengenai sebab-musabab musnahnya bumi dan apa yang hendak di tuju di selatan tersebut. Jika itu bisa tersentuh, The Road mungkin bisa lebih menarik dari The Book Of Ely.
Aguslia Hidayah