Marlena (diperankan oleh Fani Dilasari), seorang pedendang dari ranah Minang. Ia cenderung memiliki pandangan negatif terhadap sosok laki-laki. Perempuan sepuh itu memiliki Sari (Kristian Padmasari), anak semata wayangnya yang cantik. Sari memiliki pandangan yang sangat modern karena ia perantau dan telah mengenyam pendidikan modern.
Di rumah gadang itulah semua masalah dan identitas yang dulu tersimpan rapi kemudian terkuak. Begitulah alur yang tersampaikan pada pementasan Teater Sakata Padang berjudul 3 Perempuan di Goethe Haus, Menteng, Jakarta, Kamis malam kemarin. Pertunjukan ini adalah rangkaian Festival April Raising Women's Voices yang diselenggarakan oleh Institut Ungu, Jakarta.
Pagi itu, setelah membereskan makan pagi emaknya, Sari bermaksud menyampaikan keinginan bahagianya bahwa sebentar lagi ia akan dipinang oleh seorang dokter bernama Hendra Pratama. Marlena sangat gembira mendengar maksud putrinya itu. Namun ia mendadak menjadi gusar dan berakhir murka lantaran Sari menanyakan siapa bapak kandungnya.
“Hanya untuk mencari restu,” begitu kata Sari memohon dan meyakinkan emaknya agar tak berlaku marah semacam itu. Ipah, adik Marlena (Tya Setiawati) yang merawat Sari, menengahi semua pertengkaran itu. Ipah adalah sosok yang menjaga kodrat keperempuanannya. Ia menetapkan pilihannya mengabdi kepada suami meski tak bisa memberikan keturunan.
Pada akhirnya, semua menjadi jelas. Sari adalah anak hasil perselingkuhan Marlena dengan suami Ipah. Betapa Ipah sangat terguncang dengan kabar berita semacam itu. Marlena memang selalu berganti-ganti pasangan dan melakukan kawin siri. Tapi ia tak menduga bahwa kakaknya sendiri menikamnya dari belakang.
Begitu penyesalan datang, semuanya sudah terlanjur menjadi bubur. Marlena nekat memutuskan kembali menjadi pedendang meski usianya telah uzur yang membuatnya tak selaris seperti ketika belia dulu.
Dialog diutarakan dalam bahasa Minang dan Indonesia. "Saya memilih bahasa Minang agar kesan kehidupan rumah gadang tertangkap," ujar Tya, pemain yang merangkap menjadi sutradara usai pentas. Meski begitu, bahasa Minang tersebut mengalami pengulangan dalam bahasa Indonesia oleh pemain lain dalam dialog, sehingga penonton masih bisa mengikuti maksud dan jalan ceritanya.
Sebelum pementasan teater ini, pertunjukan malam itu didahului dengan monolog Makkunrai oleh Luna Vidya. Ia memerankan sebuah cerita yang ditulis oleh Lily Yulianti Farid.
Makkunrai bercerita tentang seorang perempuan dalam konteks Bugis yang berusaha menyadarkan keluarganya tentang kenyataan yang mencekik neneknya. Ia menggugat keberadaan kakeknya yang berlaku sangat otoriter terhadap keluarga besarnya.
Makkunrai berontak. Puncaknya adalah ketika ia menolak dikawinkan dengan lelaki yang dipilihkan oleh kakeknya itu. Kemudian Makkunrai memilih pergi meninggalkan keluarga besarnya.
ISMI WAHID