Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Hanafi: Ketidakteraturan Juga Bisa Indah  

image-gnews
Seorang anak memperhatikan karya Hanafi di Galeri Nasional, 7 April 2010. Tempo/Novi Kartika
Seorang anak memperhatikan karya Hanafi di Galeri Nasional, 7 April 2010. Tempo/Novi Kartika
Iklan

TEMPO Interaktif,  Hitam pekat jendela berbentuk kotak itu. Di atas kanvas, jendela itu tergambar hanya separuh bagian. Posisinya mencong dan agak memojok ke kanan atas. Tak mudah memang menyimpulkannya sebagai jendela. Tapi jendela itu menjadi citra dari abstraksi pelukisnya, Hanafi. Buah refleksinya atas hati sang ayah yang tak bisa ditebaknya itu dituangkan dalam karya bertajuk Jendela Kamar Ayah.

Hanafi mengenang pembicaraan ayahnya, Muchtarom, dengan seorang teman yang diam-diam didengarnya. Saat itu, ayahnya menyebut Hanafi, yang masih duduk di bangku sekolah dasar, kelak akan menjadi pelukis. “Alasan Ayah, saya bisa menggambar garis panjang,” kata Hanafi.

Puluhan tahun sudah pembicaraan Muchtarom dengan temannya itu berlalu. Pada 6-18 April ini, Hanafi memamerkan Jendela Kamar Ayah bersama 34 lukisan dan tiga instalasi karyanya di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Karya-karya itu dibuat Hanafi sepanjang tahun ini. Dan pameran tunggal bertema “Saat Usia Lima Puluh” ini sekaligus menunjukkan bahwa tebakan ayahnya tak meleset.

Hanafi kini dikenal sebagai pelukis abstrak yang diperhitungkan di negeri ini. Karyanya bisa terjual ratusan juta rupiah. Meski begitu, ia tetap berpenampilan sederhana. Saat pembukaan pameran, Hanafi hanya mengenakan jins lusuh dengan kemeja abu-abu yang lengannya digunting sembarang. Rambut panjangnya tergelung dengan pengikat murahan. “Saya dulu biasa jadi gelandangan di TIM (Taman Ismail Marzuki, Jakarta),” ujar perupa kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 5 Juli 1960, ini.

Senin lalu, Koran Tempo menemui Hanafi di rumahnya untuk sebuah wawancara khusus. Rumahnya di bilangan Depok, Jawa Barat, terbilang cukup megah (dengan luas tanah 2.400 meter persegi). Tapi suasananya hangat, karena di rumah itu terdapat perpustakaan umum untuk anak sekolah dasar yang terbuka 24 jam dan semua tamu dijamu di ruang makan keluarga.

Berikut ini petikan wawancara dengan jebolan Sekolah Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, itu.

Pameran di Galeri Nasional ini menjadi puncak pencapaian usia Anda 50 tahun?
Sifat pameran itu hanya laporan pencapaian estetik. Menjadi pelukis itu bukan pada pencapaian individu, tapi lebih pada kesetiaan kepada bakat. Bakat itu akan memberikan upah jika kita setia. Dengan bakat, saya menemukan kesenangan saat mencipta. Bakat menunjukkan terangnya sendiri. Ini tak bisa dirasakan orang lain yang tak memiliki bakat.

Kurator pameran Jim Supangkat menilai Anda menjalani fase ketiga dalam gaya abstrak Anda. Benarkah?
(Jim menyebut fase pertama sebagai abstraksi ruang. Fase kedua menampilkan sedikit citra yang sebelumnya tak pernah ada dalam lukisan Hanafi. Adapun fase ketiga menghilangkan ruang dan citra serta menonjolkan garis.)

Bisa disebut seperti itu. Saat ini semakin banyak perupa serius menyodorkan hasil pencapaian artistik dan estetik yang total. Saya menjadi punya gerak yang lebih luwes. Risikonya, ya, perubahan.

Kenapa memilih garis?
Saya ingin garis menjadi dirinya sendiri. Selama ini garis hanya menjadi pelengkap sebuah gambar. Prinsipnya tetap: tidak ada desain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa tetap setia pada gaya abstrak?
Melukis abstrak bukan pilihan, tapi panggilan jiwa. Kalau panggilan jiwa tak dituruti, bisa sakit saya.

Tapi salah satu instalasi yang Anda hasilkan memiliki citra yang jelas dan tak abstrak?
Memang saya sering dilabelkan sebagai pelukis abstrak. Tapi (instalasi) itu bentuk kebebasan saya. Saya ingin bebas. Kebebasan hanya bisa dicapai dengan kebebasan.

Bukankah tak mudah membaca lukisan abstrak?
Abstrak itu proyeksi dari sesuatu yang riil. Dimulai dari pengertian detail. Tak akan ada abstrak kalau kita tidak tahu bentuk riilnya. Saya merealisasikan apa yang ada dalam diri saya. Maka yang tadinya abstrak justu menjadi nyata. Yang jelas, saya tidak suka memperindah sesuatu.

Atau justru dari gaya abstrak itu Anda memperoleh penghasilan lebih?
Saya tidak tertarik menghasilkan lukisan jutaan, tapi tidak dinikmati masyarakat. Uangnya tidak bisa dinikmati lagi. Saya tidak pernah menempelkan harga pada lukisan. Kebanyakan kolektor sudah bisa menilai harga lukisan saya. Kalau terpaksa, istri saya yang menempelkan. Tapi memang pada akhirnya (menempelkan harga) tak terelakkan. Kalau di pameran lukisan saya dijual Rp 200 juta, lalu di studio saya jual Rp 25 juta, bisa marah yang beli Rp 200 juta. Ada etika yang harus diperhatikan.

Sebenarnya yang penting bukan abstrak, realis, atau lainnya. Bukan hanya keteraturan, tapi ketidakteraturan juga bisa indah. Anda pikir (lukisan) kontemporer kita maju? Yang melukis pura-pura tahu, yang beli juga pura-pura tahu. Hanya ada dua, religius atau sirkus. Sirkus tak setinggi religius. Mudah-mudahan saya termasuk yang religius, he-he-he.…

Bagaimana Anda memandang perkembangan lukisan abstrak di Indonesia?
Dulu, kalau kita bilang “cara”, di depannya ada “tata”. Kata “tata” tak boleh dilepaskan dari “cara”. Pelukis abstrak sekarang ini tak punya tata. Mereka hanya mengerti cara. Banyak yang meniru saja supaya dapat uang. Etika melukis menghilang.

Pernah ditiru?
Ada yang dulu datang dan mengaku meniru gaya melukis saya. Dia mau menggelar pameran tunggal. Saya bilang, jangan pameran dulu, lukisannya harus diubah. Dia enggak percaya dan malah mengira saya sakit hati. Ternyata benar, lukisannya enggak laku. Malah orang datang kepada saya karena tahu gaya saya yang ditiru.

Karya Anda termasuk jarang ditampilkan di galeri dan balai lelang....
Seperti MOU (nota kesepahaman), hanya ada di atas meja. Kita tidak tahu apa yang terjadi di kolong meja. Ada juga bazar. Saya tak sepakat dengan itu semua. Mendorong orang untuk membeli dengan murah atau mahal, tapi tidak dengan senang. Lagi pula, di sana banyak permainan. Ada orang berduit men-DP (down payment, uang muka) satu lukisan. Lalu lukisan itu ditawarkan dengan harga lebih tinggi ke orang lain yang terlihat sangat berminat. Saya lebih suka yang alami.

Setelah 50 tahun, apa lagi yang ingin Anda capai?
Usia saya ini kan seperti sudah separuh lebih. Waktu saya untuk berdampingan dengan yang hidup kurang dari separuh lagi. Semua sudah saya miliki: keluarga, rumah. Saya tetap sadar dulu saya gelandangan. Saya hanya akan berusaha memberikan lebih, termasuk melalui karya saya.


Pramono

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Mengenal Voice Against Reason, Pameran Seni Rupa Kontemporer dari 24 Perupa

5 hari lalu

Pameran Voice Against Reason. Foto: Museum Macam.
Mengenal Voice Against Reason, Pameran Seni Rupa Kontemporer dari 24 Perupa

Pameran seni rupa ini diikuti perupa dari Australia, Bangladesh, India, Jepang, Singapura, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.


Grey Art Gallery Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Islami Karya 75 Seniman

12 hari lalu

Pameran seni rupa Islami berjudul Bulan Terbit  sejak 15 Maret hingga 14 April 2024 di Grey Art Gallery Bandung. (Dok.Grey)
Grey Art Gallery Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Islami Karya 75 Seniman

Pameran seni rupa Islami ini menampilkan 85 karya 75 seniman yang membawa kesadaran bagaimana memaknai nilai-nilai Islam.


Belasan Seniman Gen Z dari 3 Kampus di Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Equivocal

16 Oktober 2023

Karya instalasi buatan Michelle Jovita berjudul Massa Manusa. (Dok.pameran).
Belasan Seniman Gen Z dari 3 Kampus di Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Equivocal

Gen Z menggelar pameran seni rupa yang berisi karya digital art, seni instalasi, gambar atau drawing, lukisan, seni grafis, patung, juga performance


Selasar Sunaryo Gelar Pameran Lengan Terkembang Karya Belasan Seniman Difabel

23 September 2023

Pameran Lengan Terkembang: Ruas Lintas - Abilitas di Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space Bandung melibatkan belasan peserta seniman difabel.  Foto: TEMPO| ANWAR SISWADI.
Selasar Sunaryo Gelar Pameran Lengan Terkembang Karya Belasan Seniman Difabel

Program itu dilatari oleh kenyataan bahwa pameran seni rupa di Indonesia selama ini belum menjadi ruang khalayak yang inklusif.


Pameran Seni Rupa Artsiafrica#2 di Bandung Tampilkan 170 Gambar

19 September 2023

Pameran Artsiafrica#2 di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung berlangsung 16 - 30 September 2023. Foto: Dok.Galeri.
Pameran Seni Rupa Artsiafrica#2 di Bandung Tampilkan 170 Gambar

Pameran seni rupa bertajuk Artsiafrica menampilkan sosok warga Asia dan Afrika lewat muka hingga balutan budayanya di negara masing-masing.


Kelompok Ambari dari Alumni ITB Gelar Pameran Prismeu di Galeri Orbital Dago Bandung

4 September 2023

Pameran kelompok Ambari di Galeri Orbital Dago Bandung hingga 17 September 2023. (TEMPO/ANWAR SISWADI)
Kelompok Ambari dari Alumni ITB Gelar Pameran Prismeu di Galeri Orbital Dago Bandung

Karya yang ditampilkan 9 anggota dari kelompok Ambari dalam pameran Prismeu adalah perwujudan dari benda atau alam sekitar yang nyata di keseharian.


Fenomena Alam dan Sosial di Pameran Tunggal Iwan Suastika

20 Agustus 2023

Lukisan karya Iwan Suastika berjudul Beauty in a Chaotic Rhythm. Dok. D Gallerie
Fenomena Alam dan Sosial di Pameran Tunggal Iwan Suastika

Pameran tunggal Iwan Suastika diharapkan dapat membangun diskusi bersama tentang nilai-nilai kemanusiaan dengan perubahan alam.


Lato-lato dan Rumus Fisika di Pameran Seni Rupa Ruang Dini Bandung

19 Juni 2023

Karya Dionisius Caraka berjudul Tumbukan Lato-lato di Galeri Ruang Dini Bandung. TEMPO/ANWAR SISWADI
Lato-lato dan Rumus Fisika di Pameran Seni Rupa Ruang Dini Bandung

Pameran Seni Rupa yang berlangsung di Galeri Ruang Dini, Bandung itu banyak menggunakan media papan kayu.


Galeri NuArt di Bandung Gelar Pameran Mekanisme Pertahanan Manusia

21 Mei 2023

Karya Isa Perkasa berjudul Masker 2024. (Dok.Pribadi)
Galeri NuArt di Bandung Gelar Pameran Mekanisme Pertahanan Manusia

Ada cara yang dinyatakan oleh para seniman dalam pameran seni rupa ini, seperti mengenali ulang apa yang terlihat sebagai realitas keseharian.


Pameran Bianglala Seribu Imajinasi, Wadah Seniman Penyandang Autisme Unjuk Diri

7 April 2023

(kiri ke kanan) Hilmar Faris, Claire Siregar, Sylvia Siregar pada acara pembukaan Bianglala Seribu Imajinasi, di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta Pusat, pada Rabu, 5 April 2023. Foto: TEMPO | Gabriella Amanda.
Pameran Bianglala Seribu Imajinasi, Wadah Seniman Penyandang Autisme Unjuk Diri

Imajinasi unik dan berbeda yang dimiliki penyandang autisme ini terlihat dari karya mereka yang memiliki makna sudut pandang sendiri.