TEMPO Interaktif, Jakarta - Wajah Parikin kaku, matanya berkaca-kaca. Sedikit beringsut pelan dia membenamkan wajahnya ke bantal. Lirih. Laki-laki itu berusaha menyembunyikan air matanya dari Asep, anaknya yang telah tidur. Juju, istrinya, telah pergi meninggalkan Parikin dan Asep ke Timur Tengah untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia. Ini hanya sepenggal adegan dari sinetron “Kisah Keluarga Parikin.”
Sebuah sinetron sepuluh episode –berdasarkan kisah nyata--, telah mengalihkan perhatian dalam beberapa pekan terakhir. Tayangan televisi keluarga ini disiarkan stasiun DAAITV. Di tengah hiruk-pikuk berita kasus Bank Century, Gayus Tambunan, ataupun Makelar Kasus. Ataupun sinetron pop, yang menampilkan ibu, anak dan pembantunya cantik semua. Bukan pula, yang menampilkan ekspresi kemarahan meledak-ledak atau jatuh cinta yang norak.
Kisah Keluarga Parikin hanyalah sinetron biasa, wajar, mengalir, kisah yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan mudah dipahami. Itulah istimewanya. Kesahajaan itu mengemas perjuangan anak manusia untuk bertahan hidup dengan seluruh kemampuan, berdoa dan berserah diri.
Sugeng Wahyudi, sang sutradara, mengatakan keluarga adalah ruang drama sesungguhnya, ide-ide cerita yang brilian semestinya ditemukan di tengah keluarga. “Jadi sederhana saja, saya ingin membuat tontonan untuk ibu saya, istri saya, mertua saya, anak saya, adik saya dan tetangga-tetangga saya,” tuturnya. “Jadi dengan semangat tersebut saya jadi punya tanggung jawab untuk tidak menciptakan jarak antara cerita dengan kehidupan sehari-hari mereka.”
Menurut Sugeng, awalnya dari pihak DAAITV, mengajukan sebuah cerita kisah nyata, kemudian dikembangkan lagi oleh tim kreatif di yayasan SET. Melalui proses riset yang cukup panjang dengan menghabiskan waktu selama 6-7 bulan.
Nugie, periset dalam sinetron ini, mengaku membutuhkan waktu hampir setengah tahun untuk riset. “Selain ke Cirebon dan Bandung selama tiga bulan, saya kontak melalui telpon tokoh-tokoh nyatanya,” paparnya. “Saya bertugas untuk menemukan cerita aslinya secara detil.”
Riset ini meliputi kondisi sosial dan budaya yang melekat, termasuk tradisi dan pribadi masing-asing tokoh, yang biasanya jarang dilakukan dalam pembuatan sinetron kejar tayang. Dari riset, Sugeng kemudian berusaha membangun kembali, dengan menghadirkan tokoh-tokoh sentral dari cerita ini, termasuk Parikin, Juariah, dan Asep.
“Kita mengumpulkan kembali peristiwa-peristiwa yang berserakan, kemudian merangkainya kembali, seperti Parikin merangkai cincin perkawinan dari sehelai serabut tikar pandan. Detail pada benda-benda yang mewakili simbol-simbol emosi adalah bagian penting yang kami gali, diluar tema-tema besar yang juga tidak luput dari pengamatan,” papar Sugeng.
Cerita yang diawali dengan kisah percintaan –yang mempertemukan Parikin dan Juju-- semasa kuliah D2 Pendidikan Guru Sekolah Luar Biasa. Adegan ini menghantarkan kita pada kisah cinta anak muda tahun 80-an. Parikin, yang “super” pemalu untuk berkenalan dengan pujaan hatinya, Juju. Kontras dengan Juju yang mempunyai watak periang dan mudah bergaul.
Kisah mahasiswa yang ingin menjadi guru sekolah luar biasa ini mulai berkembang. Dari belajar bahasa isyarat –yang secara verbal mudah disampaikan kepada penonton-- sampai usaha para mahasiswa ini untuk membangun sekolah sendiri untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Tak lupa, keinginan mereka menjadi guru yang diangkat menjadi pegawai negeri, menjadi konflik yang akrab dalam kehidupan sehari-hari.
Anak-anak dari sekolah luar biasa yang terlibat dalam sinetron ini juga berhasil menjalin cerita menjadi lebih kompleks. Para aktor pun larut dalam kesahajaan peran anak-anak yang tak pernah berakting di depan kamera. Natural.
Deskripsi pada awal cerita ini terbangun dengan baik. Sudut pengambilan gambar dari kamera Sony Z-7 berhasil menyiasati latar belakang masa lampau –alat transportasi sepeda, bangunan lama atau detil-detil bangunan--, mampu menggiring cerita masuk ke tahun 80-an. Lokasi syuting dilakukan di Depok, Tangerang, Cirebon, Arjawinangun, Bandung, dan Kuningan.
Agus yang menjadi Parikin dan Sita Nursanti –penyanyi dan aktris-- yang memerankan Juariah, mampu menggeser karakternya dari mahasiswa dan mahasiswi yang penuh semangat dan keceriaan menjadi sosok-sosok yang tegar menghadapi cobaan kehidupan.
Agus Kuncoro bisa menjadi sosok pemuda pemalu saat berperan sebagai mahasiswa. Namun berubah menjadi suami dan ayah yang sabar berjuang untuk kesembuhan Asep, di pertengahan sampai akhir cerita.
Sita pun tak kurang, dengan karakter periangnya dan kekerasan hatinya. “Kesamaan saya dengan Ibu Juju, sama sama suka musik,” ujar Sita dalam wawancara dengan DAAITV. Adegan Sita memainkan gitar dan bernyanyi di sebuah dangau di tengah sawah, menampilkan adegan romantis yang jauh dari erotis. Tak perlu ada kejar-kejaran, atau peluk-pelukan yang tidak jelas maksudnya.
Para aktor ini, diakui Sugeng, sangat kooperatif dan paham dengan visi keaktoran yang diinginkan. “Mereka banyak memberikan masukan kepada saya melalui improvisasi-improvisasi yang terjaga takarannya.”
Salah satu keunikan dalam pengambilan gambar di bawah air, saat tokoh Asep melepas ikan di sebuah danau adalah meletakkan kamera tersebut di dalam akuarium. “Primitif ya...karena pelindung bawah air untuk kamera itu belum tersedia,” aku Sugeng.
Sinetron dengan pembuatan --riset dan penulisan selama enam bulan, pra produksi tiga bulan, syuting selama 35 hari (total 10 episode dan pasca produksi empat bulan-- selama hampir satu tahun ini memang layak menjadi tontonan keluarga.
Saat ini serbuan informasi dan hiburan lebih banyak menyuguhkan mimpi dan hiburan semata. Kisah Keluarga Parikin menjadi pilihan lain: kaya dengan unsur pendidikan. Kisah semacam inilah yang seharusnya selalu hadir dalam ruang keluarga kita.
NUR HARYANTO