Sejak hari ini hingga 29 Mei mendatang, kelompok perupa tersebut menggelar pameran di Santrian Gallery, Sanur, Bali. Dalam pameran bertajuk Sehati-hati itu, para seniman Lempuyang menampilkan 29 karya, yang terdiri dari 27 lukisan dan 2 patung karya dari 25 perupa. “Pameran ini merupakan refleksi setelah 17 tahun kelompok ini berdiri, “ kata Wayan Setem, salah-satu perupa kelompok Lempuyang.
Sepanjang 17 tahun, kegiatan kegiatan mereka sebagai sebuah kelompok mengalami pasang-surut. Tapi secara individual, para seniman masih konsisten berkarya. Beberapa di antaranya bahkan telah mendapat pengakuan luas di pasar seni rupa nasional, seperti Wayan Setem, Nyoman Sukari, Wayan Redika, Made Budhiana, Made Aswino Aji. Ada pula perupa yang memilih tetap tinggal di Karangasem untuk mengajarkan seni rupa kepada anak-anak di pedesaan.
Menurut Wayan Redika, tekanan eksistensi kelompok ini bukanlah untuk membuka bargaining dengan pasar seni rupa. Tapi lebih untuk mewujudkan kegotongroyongan sebagai seniman yang berasal dari satu kampung. Hal itu tercermin dalam penggunaan kata “Lempuyang” – yang bagi warga Bali merupakan daerah yang terkesan sakral, karena merupakan tempat salah-satu Pura tertua di Pulau Dewata.
Secara teknik, kelompok ini juga tak memiliki aturan yang baku. Anggota-anggotanya dibebaskan untuk memilih gayanya sendiri. Meski begitu, saat ini kebanyakan perupa kelompok itu memilih gaya abstrak dan figuratif. “Prosesnya memang cenderung ke situ,” ujar Redika menjelaskan.
Mereka juga tak mengklaim adanya ciri-ciri khusus dalam karyanya, meski lahir dan dibesarkan di Karangasem. Masalahnya, tutur Redika, dalam perkembangannya para pelukis kemudian berinteraksi dengan ruang pergaulan yang lebih luas. Sebagian besar malah melanjutkan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan ISI Yogyakarta.
ROFIQI HASAN