Ratapan Bomanarakasura menggaung. Ia menggugat identitas yang terus dicarinya. Boma lahir dari seorang Dewi Pertiwi, namun ia tak menemukan siapa gerangan ayahandanya. Ibunya sekalipun tak menerangkan kepadanya lahir atas Kresna atau sang Raja Raksasa, Bomantara.
Begitulah kisah Boma yang dilakonkan Aris Murtono bersama 20 penari dalam sandiwara wayang bertajuk Boma di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis malam lalu. Epik klasik pewayangan Mahabharata ini dipentaskan lewat medium teater tradisi oleh Yayasan Kusuma Budaya.
"Sebuah garapan baru karena menggabungkan unsur wayang wong, wayang kulit dan kethoprakan," kata sutradara Blacius Subono usai pementasan. Ketiga unsur tersebut berpadu menjadi satu garapan yang tak kaku.
Diakui Subono, porsi tarian memang dibuat minimal dibanding dengan dialog dan akting pemeran. Dialogpun tak seperti yang terjadi pada pertunjukan wayang orang. Penggunaan bahasa Jawa sehari-hari pada beberapa dialog dimaksudkan untuk memudahkan penonton memahami isi cerita.
Koreografer Hery Suwanto mengatakan, tari diambil dari gerak wayang wong Jawa yang dipadu dengan sedikit improvisasi gerak. "Gerakan menjadi lebih bebas dan santai. Agar tidak terkesan mati," ujar Hery. Ia harus mengubah setting gerak dan ruang yang berbeda dari pergelaran wayang orang, agar gerakan yang terbangun dari tubuh-tubuh itu bisa lebih komunikatif.
Gagasan dihadirkannya dua dalang wayang kulit dalam sebuah pertunjukan teater memang bukan hal baru. Teater Koma saat mementaskan Sie Djin Kwei di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Februari lalu, juga pernah menghadirkan dalang seperti itu. Namun, untuk sebuah pertunjukan klasik semacam ini, kehadiran dalang menambah warna pementasan.
Boma berkisah tentang seorang anak bernama Sitija, yang tak lain adalah nama kecil Boma. Ibunya, Dewi Pertiwi (diperankan Maria Darmaningsih), mempercayakan kepada pendeta untuk memelihara Sitija. Pertiwi ragu siapa gerangan ayahanda dari anaknya itu. Prabu Kresna atau Raja Bomantara. Pertiwi masih menjadi istri Kresna kala Bethara Guru memerintahkannya menikahi Bomantara untuk menghalau peperangan yang lebih besar lagi di kahyangan.
Lalu datanglah Sitija dewasa kepada Prabu Kresna di kerajaan Dwarawati. Kresna menjanjikan keabsahan menjadi anaknya dengan syarat: Bomantara harus dibunuh.
Peperangan antara Sitija dan Prabu Bomantara terjadi. Di tengah kemelut itu, Dewi Pertiwi datang. Prabu Bomantara menangkap firasat apakah Sitija adalah anaknya. Dalam kelengahannya itu, Sitija berhasil membunuh Bomantara.
Sukma Prabu Bomantara menyusup dalam diri Sitija untuk memimpin Trajutrisna, kerajaan yang berhasil direbut anak Pertiwi itu. Sejak itulah Sitija bergelar Bomanarakasura atau Boma. Boma kemudian menikahi Dewi Hagnyanawati (Dhita Saptodewo), putri dari kerajaan salah satu jajahan Trajutrisna.
Tapi masalah belum usai. Sebuah wilayah kecil bernama Tunggarana, perbatasan antara Trajutrisno dan Pringgandani milik Gatotkaca, menjadi rebutan. Perang antara Boma dan Gatotkaca tak terhindarkan. Boma menang, tapi Kresna lagi-lagi ikut campur. Bakti Boma terhadap Kresna sebagai ayahanyalah yang meluruhkan kemenangan itu. Boma menyerahkan Tunggarana kepada Gatotkaca.
Boma sangat terpukul. Ini adalah usahanya yang kesekian kali mengabdikan dirinya untuk kejayaan ayahnya. Selalu saja Gatotkaca ada di belakang kegagalan Boma.
Ketika ia kembali ke istana, didapatinya Dewi Hagnyanawati sedang asyik mesra dengan Samba, anak Prabu Kresna. Pukulan telak menghunjam Boma. Ia menjadi gelap mata dan sangat murka. Boma menyiksa Samba, merobek-robek tubuhnya hingga tewas mengenaskan.
Kematian Samba menyulut murka Prabu Kresna, dan ia bertambah yakin bahwa Boma bukan salah satu keturunannya. Pertempuran pun tak terhindarkan. Namun Boma tak mudah ditaklukkan. Tak ada senjata sakti yang dapat mematikannya. Senjata Cakra milik Kresna sekalipun tak mampu membunuhnya selama restu Dewi Pertiwi masih menyertai Boma.
Ibunya harus memasrahkan kematian Boma. Selendang putih panjang digelar perlahan menutupi panggung dengan pelan. Di situlah kematian Boma ditangan ayahnya, Kresna.
Sepanjang 90 menit, pergelaran itu menyuguhkan komposisi gerak yang maskulin karena sebagian besar diperankan oleh penari laki-laki dan hanya dua penari perempuan. Musik diiringi secara langsung oleh seperangkat gamelan dengan pengrawitnya. Instrumen modern, seperti biola dan jimbe sebagai pengkaya warna nada. "Agar musik terdengar lebih dinamis," ujar sutradara Subono.
Hanya musik yang kaya tak didukung tata panggung yang kuat. Panggung tampak sederhana. Boleh dibilang, tata lampu menjadi unggulan bagi setting panggung yang senyap dari ornamen itu.
Toh, secara keseluruhan pementasan Boma tetap menarik. Menurut Subono, tokoh Boma sangat menarik. "Jika sejak kecil seseorang telah terbuang, proses dewasanya akan menggemparkan," katanya.
Ya, dunia pewayangan memang akan selalu multitafsir.
ISMI WAHID