Menurut Koordinator Pameran Made Baktiyasa, pameran ini untuk membuktikan bahwa setelah 40 tahun berdiri, regenerasi pelukis SDI masih terjadi. "Bahkan makin berkembang karena pelukis yang pulang ke Bali ikut mendirikan cabang disini," katanya, di sela acara pembukaan pameran pada Jumat malam kemarin. Pameran menampilkan 24 lukisan, 7 karya patung, 4 sketsa, dan 5 karya instalasi.
SDI mulai berdiri pada 1970, yang digagas oleh sejumlah mahasiswa Bali yang menjalani kuliah di Institut Seni Indonesi (ISI) Yogyakarta. Mereka adalah Nyoman Gunarsa, Made Wiantar, Pande Supada dan Wayan Sikka. Pendirian itu untuk menyatakan sikap seniman Bali yang saat itu terjepit antara kecenderungan aliran modern yang berporos di Bandung dan aliran realis yang berpusat di Yogyakarta. SDI berusaha mengembangkan ciri-cirinya sendiri dengan menggali simbol-simbol dan tema-tema budaya Bali.
Pengamat seni Jean Couteau menyatakan, keberadaan sanggar ini sebetulnya mewakili pergolakan budaya Bali dalam merespon dinamikan masyarakatnya. "Seniman-senimannya dibesarkan dalam konteks sosial budaya yang berubah," ujarnya.
Di masa awal, tutur Couteau, mereka disibukkan dengan upaya mengangkat budaya Bali agar mendapat pengakuan di pentas seni rupa Indonesia dan internasional.
Situasinya jauh berubah dibanding saat ini, di mana para seniman lebih banyak yang merasa sebagai bagian warga dunia dengan problem-problem kontemporer seperti perubahan gaya hidup, ancaman pemanasan global, kasus korupsi, dan lain-lain.
Menurut Couteau, simbol budaya Bali dianggap sudah tak lagi relevan untuk ditonjolkan. Itu terlihat sangat jelas, secara visual tak ditemukan lagi ciri khas yang menyatakan mereka sebagai seniman yang berasal dari Bali.
Perupa Baktiyasa, angkatan 1998 di ISI Yogyakarta, menyatakan, cairnya bahasa rupa anggota SDI itu harus dianggap wajar. “Memang tidak ada ciri khusus yang kita indoktrinasikan. Semua pelukis bebas memilih gayanya sendiri,” katanya.
SDI lebih berperan sebagai instrumen awal untuk membantu perupa muda Bali yang menempuh pendidikan di Bali agar memiliki akses untuk memasuki dunia seni rupa. “Jika mereka telah merasa cukup eksis, mereka bahkan boleh memilih untuk tidak aktif di sanggar itu,” ujar Baktiyasa.
ROFIQI HASAN